Runtuh semua pertahananku. Runtuh seruntuh-runtuhnya
Hati yang ku larang untuk rindu, kembali bergejolak.
Sakit, sangat sakit!
Malam itu aku tumpahkan semua umpatan yang ada di kepalaku.
Semua binatang yang menjadi tujuan ku lontarkan ke udara.
Anjing!
Malam itu aku menangis sejadi-jadinya. Sesak! Sangat sesak!
Hatiku serasa dicabik-cabik oleh kenyataan bahwa aku belum bisa lepas dari bayangan dia sedangkan otakku ingin meraih dekapan lain.
Tapi hati tidak bisa berbohong otakku tak bisa mengalahkan hati yang terpaut sakit dan waktu.
Hati ini terlalu lama dikekang satu bayangan hingga dia untuk berpindah butuh waktu,
Ku tarik nafas dalam-dalam dan coba menenangkan hati. Tuhan, aku tak sanggup menahan sakit seperti ini lebih lama! Aku tak ingin membawa orang lain terlibat dalam kekacauan ini.
Aku harus melepas semua ini pergi. Tak terkecuali! Aku ingin hidup tenang Tuhan! Aku ingin hidup tenang!
Ku raih ponsel yang baru saja ku hempaskan dengan kasar ke dinding kamarku. Sedikit lecet di ujungnya ternyata, namun masih bisa berfungsi dengan baik. Terimakasih sudah bertahan wahai ponsel di emosiku yang tidak karuan.
Ku carilah nomor dia yang masih membayangi hidupku dan tanpa pikir panjang langsung ku tekan tombol telfon. Di dering ke 4 dia mengangkat.
“Hallo,”
“Ya,”
“Ada apa?”
“Bisa kau tidak membayangi ku lagi?”
“Aku tidak bisa. Aku ingin kau kembali kepadaku. Bisakah?”
“Tidak, maaf sekali lagi aku tidak bisa,”
“Kenapa?”
“Aku tidak punya alasan lagi untuk kembali kepadamu,”
“Kau sudah lupakan aku? Kau tak ada lagi cinta untukku?”
“Cinta?”
“Ya. Cintaku kepadamu tidak berubah sedikitpun. Sedikitpun dari awal sampai detik ini tidak berubah. Aku rindu saat kamu marah, aku rindu memegang pipiku yang kemerahan menahan malu itu, aku rindu mendengar tawa renyahmu terhadap lawakanku yang tidak lucu aku rindu semua hal tentang kamu. Bisakah kita seperti dulu lagi?”
“Ya aku tahu bahwa rasamu kepadaku tak berubah sedikitpun. Aku juga sadar betapa kau sangat menyayangi aku. Tapi apakah kau sadar betapa rasa sakit yang ku tancapkan? Kau sadarkah bahwa semakin hari sikapmu semakin kejam dan tidak tahu arah? Sadarkah kamu bahwa kau tidak mampu lagi menjadi rumah seperti yang aku dambakan?
“Apa yang aku lakukan hingga kau berkata seperti itu?”
“Kau masih mempertanyakan apa yang kau lakukan, berarti kau tidak sadar selama ini aku menahan rasa sakit. Kau tak sanggup menjadi benteng, kau tak bisa lagi menjadi atap untukku, kau tak mampu menadi dinding yang menahan angin keras yang menerjangku. Kau hanya bisa menjadi jendela, yang kapanpun bisa dibuka dan pecah ekna batu yang dilempar bocah tetangga. Dan kau masih tidak sadar itu? Masih berani kau utarakan cintamu tak berubah?”
“Kenapa baru sekarang kau tumpahkan semuanya,”
“Kau masih bertanya lagi? Setiap aku membuka percakapan kau bilang jangan pakai perasaan, jangan terlalu dipikirkan, jangan terlalu di dramatisir. Aku bisa apa? Aku menahan karena tidak ingin kau memikirkan masalahku yang menurutmu tidak jelas ini. Aku masih memikirkan perasaanmu setiap ada gejolak yang menghantui aku. Seperti itu aku mencintaimu. Berusahs menjga hati kamu menjaga hari-hari kamu supaya tidak kelam karena aku. Itu defenisi cinta aku kepadamu,”
“Kenapa baru sekarang?”
“Karena aku tidak kuat. Aku punya batas dan kau tak sanggup kan meredam amarahku? Kau masih menuntutku menerima kenyataan bahwa kau masih mencintaiku, rasamu tidak berubah sedikitpun kepadaku. Kau masih menyombongkan hal itu. Dan sekarang mungkin kau bisa simpan kesombonganmu itu. Karena apa? Karena aku tidak butuh lagi. Aku mau hidup seperti apa yang aku mau,”
“Tidak ada lagi kesempatan untukku? Kita sudah pernah melewatan banyak hal dan kita bisa,”
“Maafkan aku. Aku tidak ingin berada di kondisi yang sama berulang-ulang. Mungkin sudah saatnya kita melangkah berjauhan. Selama ini aku juga melangkah sendiri di dalam bayang-bayangmu. Dan sudah saatnya bukan, aku lepas dari bayanganmu dan melangkah sendiri?”
“Baiklah, jika memang itu maumu aku bisa apa. Tapi satu hal yang harus kamu tahu rasaku tidak pernah berubah sama kamu,”
“Ya terimakasih untuk itu. Walau kita mengulang lagi kisah itu mungkin tidak akan seindah dulu lagi. Hambar….”
“Tergantung dari kita yang menjalani. Bukan hambar, bisa jadi lebih hangat dari yang dulu-dulu,”
“Maafkan aku. Aku sudah tidak ingin lagi mengulang-ngulang kondisi yang sama. Maafkan aku,”
“Baiklah. Semoga kamu bahagia,”
“Bahagia untuk kita semua. Doa terbaik untuk kita. Selamat tinggal dan terimakasih untuk semuanya. Basi sekali bukan, cara berpisah seperti ini? Tapi aku tulus, ikut mendoakan kebahagiaan untukmu,”
“Ya, terimakasih,”
Telfon itu mati. Aku terdiam, air mataku tetiba mengalir dengan deras. Tanganku menggigil. Tubuhku gemetar tidak karuan. Kulepas tangisku malam itu. Lepas, sangat lepas.
Malam ini terasa sangat panjang. Tidak ada dering pada pukul 8 malam, tak akan ada lagi drama pilih baju untuk pergi kencan di akhir pekan, tak ada lagi drama manja dan tawa lepas saat ada komedi di video yang selalu kita tonton. Semua itu kita lepaskan di malam ini.
- - - -
Hari berganti…
Satu masalah telah kuselesaikan dengan baik. Ya, baik menurutku karena habis tenagaku untuk mengumpulkan semua keberanian untuk mengambil keputusan paling berarti dalam hidupku. Melepas kekasih hati yang sudah bertahun mengisi hari-hariku.
“Dimana lo? Gue sudah di cafe kemarin. Buruan!” ucap seniorku dalam telefon.
“Sabar bos, ini lagi di jalan. Macet nih, abang ojolnya juga nggak tahu jalan,” jawabku sekenanya, padahal sedang mengoleskan gincu dibibirku.
“Buruan!”
“Iya. Sabar!”
Sampailah aku dihadapan pria yang mengisi hari-hariku dalam beberapa minggu terakhir ini. Ya Tuhan, haruskah aku lakukan ini, lagi? Harus aku melepaskan lagi? Aku ingin bebas!
“Katanya lo mau ngomongin sesuatu. Apaan?”
“Hmm…” Aku menarik nafas dalam memainkan jemariku dan mencoba menatap ria berkaca mata yang dari tadi menatapku dengan dalam.
“Apa? Katakan saja,”
“Bang…”
“Ya…”
“Sepertinya gue benar-benar ingin bebas,”
“Ya. Gue tahu kok.....,”
“Maksudnya?”
“Gue juga sadar kenapa lo ingin bertemu hari ini. Gue juga sadar bahwa kita dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja dalam menjalin komunikasi. Jadi gue paham apa yang lo rasain, dihantui bayangan mantan, bukan?”
“Iya….”
“Lo nggak usah merasa bersalah atau nggak enakan sama gue. Gue juga dalam kondisi yang sama dengan lo, mantan masih dalam bayangan kita. Dan kita memaksakan untuk bersikap baik-baik saja saat berdua. Itu yang lo rasa, bukan?”
“Iya,”
“Jangan pasang wajah seperti itu woi! Gue nggak suka ya punya junior loyo kayak lo!”
“Berarti kita baik-baik saja kan bang? Gue takut setelah ini hubungan kita renggang dan lo benci sama gue karena terkesan gue mainin lo,”
“Ya enggaklah! Gue senang lo jujur dan jadi diri lo yang nggak bisa bohong. Lo junior kesayangan gue dan tetaplah bersikap seperti biasa ya! Gue abang senior lo! Jangan bikin gue malu dengan sikap patah semangat lo!”
“Siap senior tampan! Traktir gue dong laper nih….” ucap gue sembari melepas senyum lebar dan tertawa cekikikan.
“Sialan! Tetap yaaaaa morotin gue! Mau makan apa lho?”
Percakapan kamipun mengalir seperti biasa kembali. Ya, kita sama-sama sadar bahwa hati ini sedang tidak baik-baik saja dalam menjalin hubungan baru. Setidaknya aku berani bicara dan Tuhan memberi jalan untuk menyelesaikan.
Terimakasih Tuhan untuk segala keberanian.
Aku berani melangkah lagi ke depannya. Bimbing aku.
Komentar
Posting Komentar