Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2020

DJKJ: Rindu (3)

Terkadang aku mengenang masa-masa di mana mula tanganmu menggenggam tanganku. Malu tapi mau. Saat itu tetes hujan berangsur turun. Aku berboncengan denganmu dan tanganku terdiam di tas yang memisahkan jarak punggungmu ke tubuhku. Aku terpaku diam saat kau mengoceh tentang hari ini yang mendung. "Kamu kenapa diam saja?" "Kamu lagi bicara. Aku ingin mendengarkan lebih lama lagi," jawabku sekenanya. "Tanganmu mana?" "Ini sedang memegang tas," "Kemarikan tasmu. Biar ku sandang," kamu mun menepi dan menghentikan motormu dan menyandangkan tasku ke dadamu. Perjalananmu kembali dilanjutkan dan kau berceloteh tentang hujan sore ini. "Hallo.. Kamu masih bersamaku?" "Iya. Aku masih bersamamu. Mendengarkan celotehmu yang tak kunjung henti itu," jawabku dengan tawa. "Tangan kamu mana?" "Tepat dibelakangmu," ujarku sembari mengangkat kedua belah tanganku. "Boleh aku pinjam sebentar tanganmu? " kem

DJKJ: Rindu (2)

Rindu langkah kaki yang berselonjak di setiap Jumat malam menuju peraduan. Rindu menunggu jam 9 malam untuk mendengar suara pengantar tidur yang selalu kudengarkan di ratusan Jumat. Sekarang tidak ada lagi. Kosong, sangat kosong. Otakku seperti terjatuh di lantai dan pecah berkeping-keping. Tujuan hidupku seperti sirna begitu saja setelah melangkah. Ku hela nafas dalam-dalam. Sebenarnya apa yang aku inginkan? Kebebasan seperti apa yang aku harapkan? Teruntuk Lelaki dengan senyuman yang puluhan Jumat lalu ku lihat. Apa kabar? Kenapa aku memikirkan senyuman itu disaat seperti in? Aku rindu senyuman itu. Apa kamu masih sibuk dengan duniamu? Tentu saja. Wahai lelaki tersenyum. Apa aku menjadi wanita jahat saat ini memikirkan kamu? Apa aku menjadi wanita yang tidak ada harga diri lagi tetiba aku membayangkan senyuman itu? Wahai pemilik senyuman. Sepertinya aku telah menjadi orang jahat. Merindukan kamu di saat hatiku terluka. Rindu getaran saat pertama berjumpa, rindu di awal aku menunggu

DJKJ : Rindu

Kau tau apa yang paling sulit dilakukan di dunia ini? Menerima kenyataan. Adapun kenyataan yang harus kuterima adalah kau tidak ada lagi di sisiku. Kita melangkah di jalan yang berbeda dengan membawa kenangan yang tidak ingin kita lepaskan. Kita sepakat di malam itu, di malam kau hanya diam. Di malam kau membiarkan aku menangis sesegukan melepaskan emosi yang kau bilang hanya sesaat. Di malam kau tidak berkata apa-apa, menjelaskan bualan seperti biasa. Kenapa kau tidak bohong saja malam itu? Kenapa kau tidak mencoba berkilah supaya aku tenang sejenak? Namun kau hanya diam. Jumat terus berganti. Aku melangkah dengan gemetar setiap kenangan itu datang. Menghancurkan hari-hari yang sudah kurancang dengan baik. Siang hari ini terik. Sebuah panggilan masuk ke ponselku. Dan itu dari kamu. Aku yang sedang encoba berdamai dengan perasaanku kembali kaca. Namun tetap saja panggilanmu ku angkat. "Hai, apa kabar?" sapamu dengan lembut, nada yang dulu kau gunakan di seti

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (5)

Puluhan Jumat berlalu begitu saja. Jiwa ku kembali tenang dan tidak ada lagi gejolak yang berarti. Dan kau pemilik mata, yang namanya saja bibirku bergetar menyebutnya, semoga kau berbahagia selalu. Semenjak malam itu aku sadar, bahwa kita berada di dua dimensi yang belum pernah kita pertemukan. Dimensi yang kita paksa untuk tidak bertemu, karena kondisi yang ada. Tapi tidak masalah, aku menikmati setiap getaran yang kau berikan. Terkadang aku menyesali pertemuan mata kita kala itu. Toh, akhirnya kita juga memisahkan mata ini dan pura-pura tidak tahu kan? Aku ralat, bukan 'kita', tapi hanya aku seorang. Sedih juga ya bila diceritakan detail seperti ini? Tapi tidak masalah, kok. Berlalu sudahlah berlalu. Aku menikmati duniaku yang penuh misteri ini. Bagaimana dengan kamu? -- Selamat Tahun Baru! Minggu ini festival yang mempertemukan kita dahulu diadakan kembali. Dan telah aku garis bawahi bahwa kita hanyalah dua manusia yang terlibat urusan kerja. Dalam kesempatan itu kita b

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (4)

Rutinitasku begitu-begitu saja. Tidak ada yang spesial dan tidak ada yang bergejolak. Tapi semenjak bertemu dengan kamu, aku harus melakukan banyak hal untuk mengalihkan matamu. Bisa gila aku berlama-lama seperti ini. Baiklah, kenapa aku tidak coba saja menghubungimu? Tapi caranya gimana ya? Pura-pura salah kirim? Ajak kenalan langsung? Ah, terlalu kentara. Mungkin aku bisa bertanya masalah pekerjaan saja. Dengan jantung deg-deg kan aku mengirimi pesan kepadamu melalui akun kerjaku. Berdebar jantungku menunggu respon mu. Dan benar saja, kau langsung membalas tentang urusan kerja. Hanya itu. Tapi tidak apa-apa, setidaknya aku bisa melepas rasa penasaran akan matamu yang tidak biasa bagiku itu. Apakah aku normal, atau meamng kekuatanmu berada di kedua bola mata itu? Rasa penasaranku semakin memuncak dan akhirnya aku memberanikan diri meminta kontak pribadimu. Kalian sudah tau jalan cerita selanjutnya seperti apa kan? Aku mendapatkan kontak pribadinya. Ku niatkan dalam hati ini hanya se

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (3)

Sepertinya aku melewatkan kamu. Hari ini festival outdoor diselenggarakan. Tentu saja waktunya tim dan aku bekerja. Peralatan dan kelengkapan liputan sudah di tangan. Kita berangkat. Bagaimana jiwaku akhir-akhir ini? Mulai tenang, tentu saja. Lebih tepatnya aku pura-pura tenang. Sorotan mata tajam itu kupaksa memudar perlahan di kepala. Keramaian pun datang. Seperti biasa aku dan tim siap berkeliling untuk bahan pemberitaan. Tetiba, mata kamu kembali masuk ke pikiran ku. Hey, apakah mungkin kamu ada di sini? Bisa jadikan kamu di sini? Di sela-sela pekerjaan, aku memperhatikan keramaian. Siapa tahu ada mata yang ingin ku pandang. Mata yang membayangi aku hingga tidak karuan. Nihil. Kerumunan berganti, namun tidak aku temukan mata yang ingin ku pandang. Baik, mungkin aku fokus sama pekerjaanku saja. Wahai pemilik mata, aku kesulitan karenamu tapi aku menikmati itu. Semakin sore. Tak ada pertanda darimu. Apakah aku hanya menunggu? Tidak. Aku mencarimu, berkeliling, m

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (2)

Mata itu. Dua mata dengan sorotan tak biasa yang menembus jiwa tenangku. Berhari-hari jiwa ini tidak karuan. Hanya gara-gara dua bola mata tajam milik kamu. Segala cara sudah aku lakukan supaya tidak lagi memikirkan kamu. Namun, tidak semudah yang aku bayangkan. Mungkin kamu tidak tahu, aku hanyalah lelaki biasa yang disibukan dengan dunia darat dan gunung. Kau sebutkan saja nama-nama gunung besar di negeri kita, sudah ku naiki semua itu. Apa yang ingin kau tahu? Macam-macam peralatan yang dibutuhkan naik gunung? Cara survival? Brand-brand outdoor? Alat yang bagus dan cuaca ekstrem? Semuanya aku tahu. Kau ingin menanyakan jalan daerah mana? Pelosok negeri mana? Biar nanti ku antarkan kamu ke sana. Semuanya aku tahu. Yang tidak aku tahu adalah bagaimana cara menghadapi bola mata kamu yang tanpa seizinku bertemu dengan mataku. Yang menembus jiwaku. Dan itu tanpa aba-aba! Beberapa Jumat aku biarkan diriku terjebak rasa ini. Aku ingin memastikan bahwa ini hanyalah sementara. Nanti juga a

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu?

Semua perlengkapan liputan sudah siap. Kamera, tripod, dan lainnya sudah aku susun. Kita berangkat siang itu menuju presscon di mal Jakarta. Seperti biasa, tidak ada yang spesial. Aku dan tim datang, merekam semua yang diperlukan dan balik pulang. Namun entah kenapa, di hari itu perasaanku terasa berbeda. Sebelum berangkat jantungku sudah berdebar tidak karuan. Apakah aku sakit jantung? Ya Tuhan, janganlah! Serius, semenjak pagi aku merasa jantungku berdebar tidak karuan. Apa yang akan terjadi hari ini? Tatkala sedang acara, dari kejauhan masuklah seorang perempuan berjilbab coklat dengan kemeja hitam kotak-kotak. Dengan santai dia melewatiku dan menyapa ramah beberapa orang di dalam. Wajahnya bulat, badannya tidak terlalu tinggi dan berpipi yang cukup berisi. Satu hal yang menarik adalah alis matanya yang menghiasi sorot matanya yang tajam. Hei, kenapa aku memperhatikanmu sedetail ini? Ah ....Aku harus fokus!  Kenapa aku harus memperhatikanmu? Tidak, kali ini aku akan bekerja se

Dari Jumat ke Jumat: Patah (6)

Malam Kamis menuju Jumat. Kamu akan berulang tahun, aku sudah merangkai pesan ucapan untukmu. Ku kirim pesan doa ulang tahunmu, kau balas sekedarnya. Iya aku paham aku marah, aku sangat mengerti bahwa aku bukanlah laki-laki yang kau tunggu lagi. Aku bukanlah laki-laki yang mengusap kepalamu saat kau cemberut. Ku coba lagi ingat momen ulang tahun mu di tahun awal kau menjadi wanitaku. Kita bertengkar hebat di hari itu. Aku sudah menyiapkan hadiah spesial yang pasti kamu akan suka. Malam itu, aku di depan kosan kamu. Tidak sabar melihat wajah bundarmu yang kemerahan saat malu. Tidak sabar melihat bibir tebal dan hidung mancung itu tiba dihadapanku. Aku sangat rindu. Masih marah wajahmu saat itu, namun aku tidak bisa marah balik kepadamu. Mana mungkin aku memarahi wanita cantik yang memberi warna baru di hidupku? "Ini untukmu. Selamat ulang tahun sayang," ku serahkan kepadamu kado yang pasti kamu suka. Aku tahu, kamu saat itu sangat senang, namun kamu malu karena

Dari Jumat ke Jumat: Patah (5)

Kamu dimana? Udah makan? Ayuk telfonan, aku bosan nih. Semenjak malam itu, tidak ada lagi rengekan manjamu yang menahan lapar. Kamu ingin turunkan berat badan, tapi tetap menyeduh Pop Mie di tengah malam. Tidak ada lagi chat manjamu, tidak ada lagi teror telfon di subuh yang membangunkan aku. Tidak ada lagi yang mengomentari baju aku hari ini. Kamu dimana? Berhari-hari aku dalam keraguan. Haruskah aku menghubungimu? Marahkah kamu? Atau kamu juga menunggu telfonku? Sungguh kekasihku, aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Bahkan kata maaf saja tidak terlintas dipikiranku. Apakah ini pertanda? Minggu siang, ponselku berbunyi. Ternyata pesan dari kamu yang menanyakan kabarku. Aku senang dan ku balas dengan segera. Dan percakapan hari itu tidak ada ujung, kau menangis marah kepadaku. Aku hanya diam. Selamat Tahun Baru! Tahun ini sungguh kosong. Bila aku ingat lagi ambisi-ambisimu yang lalu, membuat aku menjadi tidak ada di matamu. Kenapa aku merasa seperti i

Dari Jumat ke Jumat: Patah (4)

Apapun yang kamu lakukan, aku semakin jatuh cinta. Kamu tahu, dulu aku benci makanan manis, apalagi es krim. Namun karena kamu suka itu, aku pun mencoba menyukainya. Kamu punya kebiasaan jelek. Kamu suka bicara saat sedang mengunyah. Bibirmu dan pipimu sering bertaburan makanan dan es krim. Namun, kenapa kau cantik saat seperti itu? Jemariku akan menuju bibirmu yang lembut. "Makannya yang pelan sayangku," Kamu hanya mengangguk dan mengulang lagi kesalahan yang sama. Betapa menggemaskannya. Pada suatu hari kamu datang marah-marah kepadaku. Di saat itu juga pekerjaanku menumpuk. Kamu melampiaskan marahmu yang tidak terarah kepadaku. Aku meneriaki kamu dengan kata yang tidak sepantasnya. Kamu diam. Kamu menangis. Aku tersentak. Aku memelukmu, mengecup keningmu. Maafkan aku. Jumat terus berlalu dan berganti. Kamu semakin cantik, kamu semakin rewel, dan kamu semakin berambisi. Aku tetap suka. "Dia sudah berubah? Masih asal-asalan bicara?" Ibuku selalu menanyakan bagaim

Dari Jumat ke Jumat: Patah (3)

Duniaku sebelum ada kamu hanya ada dua warna, hitam dan putih. Berbeda dengan duniamu yang penuh warna. Entah perbuatan baik apa dahulu yang dilakukan nenek moyangku. Atau doa ibuku untuk kebahagiaanku dikabulkan Tuhan kali ini. Kau datang ke duniaku dengan warnamu. Ratusan Jumat kita lewati. Tentu tidak semuanya manis. Kerikil di jalanan kita singkirkan bersama. Kita bersuka cita dan berbahagia. Caramu memelukku, caramu menatapku, caramu bermanja kepadaku menjadikan aku lelaki yang paling beruntung. Kamu mandiri, kamu tegas, kamu punya prinsip, dan satu yang sangat penting kamu menyayangiku. Itu saja sudah cukup, kamu menyayangiku. Aku bukanlah petualang sejati seperti Mapala. Aku juga bukan seniman seperti mahasiswa di fakultas kita. Aku juga bukan kutu buku yang diam di pustaka. Aku hanyalah pria sederhana yang memiliki kamu. Itu saja. Momen pulang kuliah adalah yang ku tunggu-tunggu. Kau akan menghempaskan tasmu ke motorku dan merengek dibelikan es krim. Kau bilang, dosen menyeba

Dari Jumat ke Jumat: Patah (2)

Siapa gadis bermuka bulat itu? Tahun kedua kuliah. Kita berada di kelas yang berbeda, namun di fakultas yang sama. Aku dengan duniaku, kamu dengan duniamu. Namun dari kejauhan, aku memperhatikanmu. Siang itu, kita tidak sengaja berpapasan di lorong. Masih aku ingat, kau dengan kemeja kotak berwarna merah, berjilbab dongker, dan mengenakan sneakers. Tidak ada sentuhan kosmetik di wajahmu, bahkan bibirmu tanpa polesan pewarna tetap indah. Aku tahu, kamu cantik. Dan kamu tidak perlu semua itu. "Woi, kemana?" Sapa kamu asal-asalan. Aku terkejut. Aku pikir kayu menyapaku, ternyata tidak. Kau menyapa rekan kelasmu yang tepat berada di belakangku. Nyaris saja, untung kau tidak tahu seperti apa harapku jika kau benar menyapaku. Semenjak siang itu, aku semakin merindukan kamu. Orang-orang bilang, kamu adalah gadis aneh dan kasar. Namun bagiku kau adalah gadis yang menarik. Bicaramu yang asal-asalan, terkesan sangat sok akrab, namun itu yang membuat kamu hebat. Kamu tidak pandang bulu

Dari Jumat ke Jumat: Patah

Sayang, maafkan aku. Entah mengapa kalimat itu sangat sulit ku ucapkan kepadamu. Kau menangis, air matamu mengalir begitu deras dihadapanku. Tapi, lidahku kelu. Hampa. Sangt hampa hatiku saat membayangkan kau berjalan dengan arah yang berbeda dengaku. Sekarang tidak sekedar bayangan, kau benar-benar pergi. Dan aku hanya diam. Apa yang terjadi denganku? Mengapa tanganku tak bisa lagi menggenggam tanganmu yang mungil itu? Kenapa aku tak sanggup menahan jari-jarimu yang selalu bermain di hidungku? Kenapa aku tidak menahan kau pergi? Aku tidak bisa menjawabnya, kekasihku. Masih terngiang di kepalaku kejadian hari itu. Kau menangis sejadi-jadinya setelah memegang ponselku. Aku kaku sayang, aku tidak tahu harus berbuat apa. Tolong, air matamu jangan kau keluarkan lagi. Aku kehilangan tenaga harus menahan kamu. Jangan menangis, tolong jangan menangis. Kau, menatapku dengan sorotan mata yang tidak pernah kau perlihatkan. Raut wajah yang selalu ku hindari kali ini ada di depanku. Kamu marah,

Dari Jumat ke Jumat: Smiling Man (6)

Kucing yang pipis di kamarku tidak pernah datang lagi. Sedih, padahal bola-bolanya belum aku sentil. Setiap keluar kosan, ku cari-cari lah si kucing. Kemana dia? Apa sudah menemukan tempat pembuangan hajat yang lebih baik? Setahun berlalu dengan cepat. Tidak terasa aku mulai lupa dengan kamu. Namun tatkala hariku memburuk, foto tersenyummu menjadi obat gundahku. Tidak ada chat. Tapi kamu tidak akan pernah tahu, jika aku menunggu momen yang tepat untuk berkomentar di media sosial mu? Hahaha. Festival outdoor yang selalu ku tunggu-tunggu pun datang. Tidak sabar, karena aku ingin mengenang bagaimana senyummu 2 tahun yang lalu. Benar saja. Kamu akan ke sana, begitu juga dengan aku. Akhirnya, momen penasaran seperti apa dirimu menjadi tujuanku esok. Ratusan orangpun meramaikan kembali acara ini. Aku dejavu, akankah akan kehilangan kesempatan seperti yang lalu-lalu? Akankah pandanganku dihalangi serombongan orang yang datang entah dari mana, lagi? Siang itu, kamu mengenakan

Dari Jumat ke Jumat: Smiling Man (5)

Kita pun bercakap di dunia maya dengan basa-basi. Bertukar informasi kerja dan akun sosial media. Aku senang, serius! Cuma beberapa percakapan saja, kita kehabisan bahan untuk dibicarakan. Konteksnya pun masalah pekerjaan, tidak ada yang lain. Hey pria yang tersenyum, tahukah kamu aku sempat tergila-gila? Betapa ajaibnya perasaan suka. Melihat foto yang kau pasang sebagai profil saja ku sudah senang. Tapi segera ku sadarkan diri. Kita sudah punya romansa dan dunia masing-masing. Aku akan profesional denganmu, ini masalah kerjaan. Aku dan kamu tidak ada lagi berhubungan. Media sosialmu kugunakan sebagai pelepas rindu, jika disuatu masa aku rindu. Namun sayang sekali, tidak ada fotomu yang bisa ku tatap lama-lama. Jumat terus bergilir. Rutinitasku melihat aktivitasmu juga bergulir. Ingin ku menghubungi nomormu, tapi tidak ada gunanya. Tak ada tujuan selain basa-basi yang tidak terarah. Di suatu hari yang cerah, kau membagikan sebuah foto dimana kau memegang sebuah gambar wa

Dari Jumat ke Jumat: Smiling Man (4)

Semenjak hari itu, aku berusaha tidak memikirkan kamu lagi. Semoga kau selalu bahagia, wahai pria yang tersenyum. Hari-hari pun berlalu dengan santai. Kucing kos tidak lagi buang hajat di sepatuku. Dia bergeser tempat ke depan pintu kamarku. Bisa bayangkan, betapa marahnya aku saat menemukan alas kakiku berbau pesing dan berair? Berbulan-bulan sudah, Jumat terus bergilir. Ku disibukan dengan pekerjaan dan kisah romansa yang tidak kunjung selesai. Di suatu malam, saat aku sedang menikmati semangkok mie instant. Sebuah notifikasi DM muncul di ponsel ku. Tapi tidak langsung aku buka. Mana ada manusia yang rela meninggalkan semangkok Indomie telur plus bon cabe level 50 dan segelas es teh manis, bukan? Setelah perutku membundar kekenyangan, ku raihlah ponsel dan lihat beberapa DM masuk. Dan ada salah satu akun komunitas yang tidak ku kenal sama sekali menanyakan keberadaanku. Siapa nih? "Hallo mba. Namaku adalah ini. Aku butuh informasi bla bla bla...." Oh tern

Dari Jumat ke Jumat: Smiling Man (3)

Hari ini menyebalkan. Kucing yang ku ajak bermain setiap malam, membuang hajatnya di sepatu kesayanganku. Apa masalahmu kucing? Apa? Itu sepatu kesayangan yang selalu aku bangga-banggakan. Yang membuat kakiku terlihat menawan. Sepatu yang selalu mengantarkan aku untuk membeli makanan kucing dan kau berhajat di atasnya? Agght! Dengan wajah dongkol ku lempar ke kamar mandi sepatu hitam kesayangan dan meraih sepatu putih yang berada di dekat pintu. Awas saja kalau aku bertemu itu kucing, akan ku sentil bola-bolanya. Dia kucing jantan. Ting! Ponselku bergetar dan ternyata telfon dari atasanku. " Lo dimana? Sekarang pergi ke sana ya. Seharian elo di sana saja bikin berita," Tetiba aku disuruh liputan ke festival outdoor. Mana kucing nakal itu? Dimana dia? Dengan wajah cemberut aku keluar kosan dan melihat kiri-kanan. Siapa tahu kucing nakal itu sedang rebahan biar aku sentil bola-bolanya. Tapi sepertinya keberuntungan si kucing ini sedang baik. Dia tidak bertemu denganku hari in

Dari Jumat ke Jumat: Smiling Man (2)

Teruntuk pria yang tersenyum. Sampai kapan kau akan membayangi kepalaku? Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku mulai melupakan senyuman itu. LEbih tepatnya aku berusaha keras untuk melupakan. Gila! Apakah kamu menggunakan pelet tertentu di bibirmu, hingga aku menjadi seperti ini? Sudah dua kali Jumat. Aku perlahan melupakan senyuman itu dan beraktifits seperti biasa. Telfonan dengan ibuku, debat dengan rekan kerjaku dan bermain dengan kucing di kos-kosan saat malam. Sore ini begitu indah. Langit Jakarta tidak kotor-kotor amat. Langit biru perlahan ditutupi gelap dan matahari perlahan terbenam dibalik gedung-gedung tinggi itu. Indah seperti senyuman kamu. SIAL! Kenapa wajah kamu datang lagi sore itu? Bisa beri waktu untuk aku menikmati sore ini? Pekerjaanku hari ini sungguh berat dan kamu jangan membuatku rindu. Ku coba berjalan-jalan kecil mengelilingi atap gedung. Mungkin orang-orang yang melihatku akan berfikir, mungkin gadis ini kesurupan. Berkali-kali aku memutari atap, sambil

Dari Jumat ke Jumat: Smiling Man

Di hari itu kamu mengenakan kemeja berwarna coklat susu yang sangat pucat. Dengan sigap tanganmu menegakan tripod dan meletakan kamera yang kau genggam di atasnya. Rambutmu yang panjang kau ikat, tas yang kau sandang dari tadi kau letakan begitu saja di bangku. Kenapa hal sesederhana itu menjadi pemandangan yang indah bagiku?. Di hari itu, ada jumpa media sebuah festival outdoor. Seperti biasa, aku datang, berkenalan dengan sesama dan saling bercengkrama. Kemudian duduk dan menenangkan jiwa raga yang kelelahan menghadapi macet Jakarta. Tapi mengapa di hari itu, aku tidak menyapa kamu? Ah, sayang sekali melewatkanmu. Tapi tidak apa, aku mencoba untuk baik-baik saja dan mari fokus bekerja. Waktu pun berlalu hingga acara hampir selesai. Kau cabut kameramu dan maju ke depan mengambil beberapa gambar. Kau hampiri kemudian temanmu dan kau melemparkan sebuah senyuman kepadanya. Ya Tuhan, apa yang baru saja aku lihat? Sebuah senyuman yang begitu harmoni di wajah manusia yang Kau

Dari Jumat ke Jumat (14)

Selamat ulang tahun. Yang terbaik untuk kamu. Berbahagia selalu. Itulah pesan yang kau kirim tepat di pergantian Kamis ke Jumat. Tentu aku senang, kau salah satu orang yang mengingat momen pentingku. Terjaga di pertiga malam telah menjadi rutinitas baru. Aku punya masalah dengan tidurku dan sedang menikmati itu. Entah apa yang merasuki otakku di Jumat dinihari itu. Aku kembali menjadi manusia lemah dihadapan Pencipta. Ku rangkai semua permintaanku. Dan membabi buta aku keluhkan kepada Tuhan apa yang aku mau. Tahukah kamu, di malam itu aku meminta serius sesuatu yang tidak pernah aku minta sebelumnya. Aku minta jodoh! Jam 10.00 WIB, aku terbangun dan mencoba mengingat kembali apa yang ku minta kepada Tuhan. Astaga, aku tertawa saat mengingat aku minta jodoh. Ku tertawa lagi. Ya Tuhan, begitu putus asanya aku hingga aku serius di tengah malam meminta hal tersebut? Kembali ku tertawa kencang. Mungkin anak sebelah akan terkejut mendengar tawa menggelagarku. Oke, hari ini tidak jauh b

Dari Jumat ke Jumat (13)

Seminggu sudah setelah deklarasi akan mewujudkan hati yang lebih baik. Berjanji akan menghormati keinginan hati dan mengenyampingkan semua yang membuat luka. Minggu ini adalah ulang tahunku. Tepat di hari Jumat pertama di bulan Februari. Tapi jangan khawatir, saat ini hari masih Rabu. Mulailah kususun hal-hal baru yang akan kulakukan nanti, sendiri. Kesannya sangat terlambat, bukan? Tidak apa-apa. Kita hanya boleh berencana, Tuhan yang kasih izin. Di Rabu yang tidak cerah, kembali lagi ku ke atap. Ulang tahun kali ini berbeda. Tidak ada kejutan-kejutan mansi menjelang penambahan umur dari kamu. Tidak ada lagi pertanyaan yang sama setiap tahunnya. "Kamu ingin kado apa?" Aku tersenyum. Hey, aku bisa tersenyum saat mengenang kamu. Wow! Aku kemudian tertawa dan menangis lagi. Luar biasa! Rabu menjelang Jumat. Baru aku sadari, ternyata aku telah berusaha keras. Kamu bukanlah hal yang menyakitkan lagi. Okey, sekarang kita tatap langit siang ini. Ku buka lagi galeri dan ratusan fo

Dari Jumat ke Jumat (12)

Selamat datang Februari. Tanggal 31 Januari bertepatan dengan hari Jumat. Aku mantap menghubungimu dan mengatakan dengan penuh keberanian, aku siap untuk pergi dan melepas kamu. Aku menangis sesegukan. Aku kira tidak akan ada drama lagi karena ku tahu apa yang dimau. Namun salah, di sinilah titik penentuan apa yang akan kulakukan. Aku hanya sanggup mengirim pesan ke kamu! "Hi, apa kabar?" "Baik" "Aku ingin bilang sesuatu. Kamu ingatkan dulu aku bilang tidak akan membuka hati untuk siapapun, hingga pulang dari seberang?" "Iya" "Sepertinya aku ingin mencabut pernyataan itu. Aku ingin menikmati hidup," "Ya silahkan" "Aku ingin izin dari kamu dan tidak ingin ada rasa bersalah. Makanya aku bilang," "Hahaha. Untuk apa? Terus saja langgar janji kamu," "Ya. Aku capek," "Sama. Aku juga capek. Kamu menemukan penggantiku?" "Tidak. Okey, sepertinya kamu akan menuduhku lagi. Aku hanya ingin ka

Dari Jumat ke Jumat (11)

Beberapa orang mencoba berkelakar. Mengatakan pepatah lama, kumbang tak satu ekor. Ya benar, tapi ini masalah hati dan tidak butuh banyak kumbang. Kembali sore di Jumat minggu ketiga, aku naik ke atap. Selonjoran di sudut, menikmati sore yang semerawut. Sore sepertinya menunggu aku berkeluh kesah. Baiklah sore. Aku ingin katakan kepadamu, jika aku belum bisa melangkah ke tempat baru. Saat ku coba, aku takut. Apakah di tempat baru aku akan menetap? Sore, tak singkat waktu yang telah kujalani. Tak sedikit memori yang kita rangkum. Ribuan foto telah kita abadikan. Apakah tidak sayang dengan semua itu? Sore, apakah pantas aku menyukai orang lain lagi? Apakah aku bisa membuka hati lagi? Aku berfikir seperti ini, Sore. Aku tidak ingin dikasihani, aku tidak ingin dikendarai, aku ingin merdeka, aku ingin bebas dan aku ingin hati ini berbunga. Sore, dengarkan aku. Dia adalah orang baik. Dia orang yang aku sayangi dan sangat bohong jika tidak ada rasa lagi. Namun, juga tidak ada k

Dari Jumat ke Jumat (10)

Sudah minggu ketiga saja di tahun ini. Betapa terasa begitu berat? Kenapa aku kehilangan gairah hidup? Enggan hidungku untuk menghirup udara rasanya. Bangun tidur, dengan berat langkah aku persiapkan diriku berangkat kerja. Kosong, otakku terasa kosong. Tak ada yang kupikirkan, kecuali membasuh sisa air mata dan mengusap kelopak yang membengkak. Apa? Kau menuduhku menangis? Iya, aku menangis. Jam tiga dinihari aku kembali terbangun. Aku mengadu kepada Tuhan, sampai mataku bengkak dan tenggorokan terasa serak. Jantungku berdegup sangat kencang, menahan suara tangisku tak terdengar orang. Sangat tidak lucu bukan, jika tengah malam tetiba ada suara tangis disertai tarikan ingus yang kencang? Sangat tidak seksi! Beberapa hari ini, aku membiasakan diri tidak lagi melihat notifikasi di ponsel. Ku sadarkan diri bahwa tidak akan ada sapaan manis di pagi hari untuk membuka siangku. Okey, rutinitasku pagi ini adalah minum segelas susu. Setelah itu mandi dan jangan lupa menyetel radio dengan ge

Dari Jumat ke Jumat (9)

Tak ada beda malam minggu dengan malam lainnya. Karena setiap hari adalah malam kita. Malam bercengkrama, malam waktu bertemu, saling bercanda, saling cubit dan saling melambai saat akan pulang. Kedipan mata genitmu mengantarku pulang. Ah, betap manisnya penutup weekend ku. Betapa bergairahnya cintaku setiap mendengar nafasmu. Kita memilih jalan yang berbeda. Jalan yang kita benci selama ini, jalan yang selalu kita hindari bersama. Namun sekarang jalan itu menjadi penyelamat kita. Terdengar cikikian dua gadis remaja, bicara bisik-bisik menyebutkan bahwa pacarnya akan datang. Berbisik-bisik bahwa akan ada kejutan di malam ini. Lelakinya ulang tahun. Mengenakan kaus berwarna pink, jeans hitam dengan sepatu kets putih. Dia pun memperbaiki rambutnya yang berwarna merah kecoklatan. Sesekali melihat kamera ponsel, memastikan dandanannya malam itu tidak buruk. Aku hanya menarik nafas dalam-dalam dan menatapnya dari lantai dua kosan. Kemudian aku alihkan pandangan ke langit. Ah, kenapa saat

Dari Jumat ke Jumat (8)

Semakin sakit. Semakin sakit. Semakin sakit. Ada apa? Kenapa? Kenapa sekarang? Aku takut. Aku sangat ketakutan, sayang. Sangat takut! Seringkali ku ceritakan kepadamu, hal yang paling kutakuti dalam hidup. Kau tahu jelas apa yang ada di otakku dan hatiku. Namun, aku takut dan kau juga takut. Tidak masalah kau merasa takut. Namun sangat bermasalah saat kau enggan ingin tahu. Lantas kita harus apa? Sudah di Jumat kedua di tahun ini. Kita semakin goyah, kita semakin acuh, dan kita lelah. Lelah dengan bualan klasik pereda luka, lelah dengan rutinitas, lelah dengan kerjaan, lelah dengan lingkaran dan kita berputar di dalamnya. Saat kita ingin berhenti berlari, kita tidak menemukan lagi tempat berhenti. Ada pagar duri di peristirahatan kita. Sampai kapan? Sampai kapan? Berlari-lari semua kenangan di otakku, sayang. Dekapan tanganmu yang hangat, bibir lembutmu di pipiku, jari jemarimu yang nakal di hidungku, semuanya. Tapi apa daya kita? Siang ini aku ada di puncak gedung. Menghangatkan kep

Dari Jumat ke Jumat (7)

Ada celah! Sepertinya ada celah yang bisa disusuki harapan. Itulah yang aku bayangkan setiap pesan kamu masuk ke ponselku. Hari-hari berlalu. Aku tahu dan kamupun tahu, kita sedang berusaha mencoba saling merindu kembali. Sulit, memang sulit. Rutinitas pagiku kembali. Bangun kukirim pesan cintaku, siang pun kau mengingatkan makan siangku, dan malam kita saling menatap di layar ponsel sampai salah satunya mengeluh kantuk. Betapa manisnya keseharianku, bukan? Namun, tatkala malam datang, bergilir datang setiap harinya. Ada bagian hati yang terus terasa hampa? Apa lagi ini? Bukannya aku puas dengan kondisi yang sekarang? Sial! Tak kunjung reda hampa yang bergelut dengan rinduku kepada kamu. Apa karena aku ingin bebas, seperti yang aku bilang kepadamu tahun lalu? Bulan 10 tahun lalu. Aku ingat jika aku ingin bebas. Lelah dengan rutinitas dan ingin melakukan apa yang aku mau. Dipikir lagi, betapa kejamnya aku membuat keinginan tanpa memikirkan keberadaanmu. Ya, itu salahku. Hanya memikirk

Dari Jumat ke Jumat (6)

Sampai kapan akan bersedih? Pertayaan itu kutulis besar-besar di kertas dan tertempel tegap di dinding kamarku. Sebuah cara untuk menyembuhkan diri dari luka yang diukir sendiri. Satu hal yang tidak pernah dibayangkan, khayalan iseng yang dulu membayangkan kau pergi itu benar-benar terjadi. Lucu, tapi menyadarkan aku untuk tidak macam-macam dengan pikiran. Hari ini tanggal 3 Januari 2020. Jumat perdana di tahun Baru 2020. Minggu awal yang berat. Bukan untuk masalah percintaan saja, tapi semua hal. Kebakaran besar di benua sebelah, ribuan hewan terpangggang. Sedih! Negara seberang juga menghadapi virus yang menjalar ke luar negaranya. Dunia pun was-was. Namun apa dayaku memikirkan orang lain, sedangkan hati ini tidak karuan? Ya Tuhan, biarkanlah minggu pertama ini berjalan dengan kuat. Hanya itu pintaku, kuatlah hati ini! Pukul 10.05 WIB, sebuah notifikasi berbunyi dari ponselku. Namun tak ku tanggapi, ah palingan hanya dari chat grup. Tidak penting. Berlalu sampai siang, ponselku ter

Dari Jumat ke Jumat (5)

Happy New Years! Kembang api berdentum-dentum di antara rintik hujan deras yang melanda Jakarta. Kutarik lagi selimut, kupejam eratkan lagi mata dan sumbat telingku. Berisik! Hujan semakin deras. Dinding kamarku pun mulai diresapi air dan menetes dengan kencang. Berlari ku keluar kamar kosan, mengambil baju buluk yang biasa kugunakan sebagai pel lantai. Setelah urusan kamar selesai, termenung lagilah aku di pinggir kasur. Sepertinya ini sudah dua minggu berlalu. Namun otakku masih susah lepas dari kebiasaan yang bikin rindu itu. Oke, coba picingkan mata dulu. Siapa tahu dia bisa lupa begitu saja seiring rentetan hujan petir yang menggelegar di pergantian tahun ini. Ya Tuhan! Kenapa tidak semudah yang aku bayangkan? Ku raihlah ponsel yang berada di bawah bantal. Seperti biasa, tidak ada pertanda dari kamu. Sialnya, tanpa sadar ku menunggu notifikasi dari kamu. Iya Kamu! Mengisi malam pergantian tahun, ratusan foto yang kita abadikan menjadi saksi. Perlahan-lahan, satu ku hapus. Satu p

Dari Jumat ke Jumat (4)

"Sampai kapan kau akan seperti itu? Bayangkan orang-orang di sana menangis karena kelaparan dan kau menangis karena cinta yang sudah tahu tidak ada?" Kalimat seperti itu yang selalu di ulang-ulang oleh sahabatku setiap menelfon dengan isak tangis yang tak reda-reda setiap malam. Gila! Tak pernah sesakit ini dan separah ini. Anjing! Setiap malam, sejak malam itu tak reda isakku. Kutelfon ibuku, kutelfon teman-temanku. Kutanyakan apakah aku begitu bejat hingga sepatah ini? Apakah aku tidak sepantas itu? Setelah dipikirkan begitu dalam, sepertinya ini semua adalah salahku. Mulutku terlalu kasar. Otakku terlalu liar. Mimpiku terlalu jauh. Dan harapku terlalu tinggi. Tapi dimana salahnya? Bukannya semua orang berhak atas itu dan wajib malah melakukan itu? Baiklah. Kutarik nafas dalam-dalam. Kutambah laju treadmill dan lari sekencang-kencangnya. Tetiba lewatlah sepasang kekasih yang ingin berolahraga bersama, saling bergantian memegang botol minuman tatkala sang wanita ingin mema

Dari Jumat ke Jumat (3)

Bangun pagi. Dasar kebiasaan! Kubuka aplikasi chat dan hampa. Tidak ada lagi chat pengantar tidur yang membuatku terlelap hingga fajar. Kutegakan punggungku dan mengumpat di dalam hati. Dasar kebiasaan! Di ponsel menunjukan masih pukul 3 dini hari. Sial! lagi-lagi hanya tidur 3 jam saja. Kutarik lagi selimut, kupejamkan erat-erat mataku. Tapi tak bisa, kenapa sesubuh ini ada wajahmu di lensa mataku? Sial! Sial! Sial! Anjing! Ada apa denganku? Ada apa? Kenapa? Anjing! Baiklah... Mungkin dengan tidur di lantai, mata bisa mengantuk. Siapa tahu nanti otak ini bisa sibuk beradaptasi dengan dinginnya lantai dan membuat lelah. Coba saja dulu. Ternyata sakit juga tulang punggungku bersentuhan dengan lantai. Hadap kiri, kana tidak ada yang nyaman. Terlentangpun sulit! Ahh.. hanya buang-buang waktu saja. Tak ada yang berubah. Yang ada mataku semakin menyala dan memerah. Badanku seperti full tenaga, padahal ini tubuh sakit-sakitan. Apakah semua orang yang patah hati mengalami ini? Kubuka lagi c

Dari Jumat ke Jumat (2)

Kita akan bertemu, rutinitas mingguan yang selalu aku tunggu setiap harinya. Lelah bekerja, palsunya hubungan dengan manusia lain akan sirna saat kita berjumpa. Itu yang selalu tak henti aku ucapkan kepadamu. Di Jumat malam, aku akan menunggu kamu pulang kerja. Menunggu chat yang mengatakan "sayang, aku udah di rumah". Aku yang sudah rebahan di kasur, dengan sigap menekan tombol telfon untuk video call. Ah, senyum yang selalu ku tunggu setiap waktu. Senyuman dari kamu. Bergulir seperti biasa, aku menceritakan hariku, membahas rekan kerjaku, membahas pekerjaanku, dan tentu saja menanyakan hari mu. Wajah lelah yang kau tampilkan di layar ponselku, membuatku semakin jatuh hati. Ahh, betapa beruntungnya diriku yang melihat wajahmu, setiap malam! Sayang, dulu akan sangat benci kau tersenyum, berkeluh kesah dan tertawa untuk orang lain. Karena kamu adalah miliku, hanya untukku. Sangat terobsesi sekali aku dengan lingkaran hidupmu. Hahaha. Di Jumat malam, kita selalu berdebat diman

Dari Jumat ke Jumat (1)

Malam itu terjawab sudah. Kerisauan hati yang menghantui selama ini. Kamu yang tak ku kenali, kamu yang bukan rumah bagi ku lagi. Kita memilih jalan masing-masing. Hiruk pikuk ABG di jalanan, berteriak, tertawa cekikikan membahas malam Tahun Baru yang akan datang beberapa malam lagi. Namun, aku peduli? Tentu saja tidak. Terngiang sudah percakapan terlarang yang terpaksa aku baca. Yang terpaksa ku redam dalam kepala. Percakapan yang tidak akan mudah dilupakan seumur hidup. Sebuah harga diri, sebuah komitmen melindungi kesayangan. Ahh.. patah sudah harapan ini. Patah sudah semua mimpi. Patah sudah daftar yang ingin kita lakukan di Tahun Baru. Aku dan kamu, patah sudah. Mungkin terkesan sangat drama, jika setiap percakapan, setiap pertemun, setiap nafas kita bertemu ku singgung semua yang ku rasa. Kamu hanya diam, membiarkan amarah ku bergelorah, dalam dekapan tangan mu yang juga penuh luka. Betapa jahatnya aku malam itu kepadamu. Tubuhmu yang sakit ku tinggalkan demi amarahku yang tak b