Selamat datang untuk
anda-anda yang tidak sengaja meng klik blog saya. Saya mohon maaf
sebelumnya karena tulisan ini akan merusak hati, mata, dan pikiran
saudara-saudara.
Pada tulisan ini,
gue akan berbagi cerita tentang perjalanan gue ke Banda Neira. Pulau
ini berada di Maluku tengah. Banda Neira merupakan sebuah surga
sejarah, dimana lo harus mengunjunginya setidaknya sekali seumur
hidup.
Suatu keberuntungan
bagi gue bisa berkunjung ke pulau, bahkan tidak pernah terfikir untuk
berkunjung ke sana. Sebuah pulau yang dicatat dalam sejarah, yang
selalu menjadi soal ujian tak kala masih mengenyam Sekolah Dasar. Dan
tepat tanggal 20 November gue bertolak dari Bandara Soekarno Hatta
menuju Bandara Pattimura. Yeeay!
Gue merasa kaku
jikalau gunain kata saya, aku dan kamu. Jadi pada cerita kali ini gue
akan gunain kata sejawat saja ya. Keberangkatan gue ke Banda Neira
dimulai dari undangan Jaganti ke detikTravel sekitar sebulan sebelum
keberangkatan. Pada saat itu gue nggak ada ketertarikan sedikitpun
untuk melihat itu undangan liputan, sampai akhirnya undangan ini
dibahas oleh Bos gue.
“ Nanti, kalau
nggak nia yang pergi, berarti elo ya Syan,”
Sebuah kalimat yang
mengejutkan sekaligus menyenangkan. Langsung, detik itu pula gue
browsing di Google speerti apakah Banda Neira.
Beberapa detik gue
ternganga melihat potret lukisan Tuhan yang ditampilkan oleh Google.
Eh buset! Ini surga atau apa ya? Cantik banget!
Bos gue juga berujar
bahwa banyak objek sejarah nantinya yang bisa gue jajali di Banda
Neira. Banda Neira adalah alasan penjajah datang ke Indonesia.
Tentu saja gue
kaget, dan langsung mengingat itu pulau. Oh iya, guru sejarah pernah
menyebut-nyebut sebuah pulau dahulunya. Ya, memang guru gue pernah
nyebut Banda Neira. Banda.. Banda..
Oke… Mungkin
sekitar 10 hari sebelum hari keberangkatan, kalimat yang gue tunggu
“Syan.. lo yang berangkat ke Banda ya,” diucapkan dari mulut bos
gue. Yeeeeeeeeee ke daerah timur meeeeeeennn!
Langsung gue
nge-chat si pacar untuk belanja perlengkapan ke Banda.
Mungkin lo pada
mulai bosan membaca tulisan gue yang masih tidak jelas kemananya.
Tapi tenang, beberapa halaman lagi gue akan lompat ke cerita Banda
Neira.
Semua perlengkaan
gue bereskan sebelum berangkat ke Banda Neira. Tepatnya Kamis,
tanggal 19 November 2017, pukul 21.15 gue berangkat ke Bandara Soe-Ta
dari Tandean. Gue akan berangkat pesawat pukul 00.30 WIB!
Sedikit informasi
buat lo semua ya. Ini adalah kedua kalinya gue naik pesawat, dan
pertama kali ke bandara sendirian. Tentu, ini pengalaman yang harus
gue simpan, pengalaman yang nantinya untuk lucu-lucuan di masa tua.
Gue nggak berangkat
sendiri kok, gue menghubungi pihak Jaganti dan ternyata
keberangkatannya sama dengan gue. Dilihat dari foto profil dari
Whatsapp, namanya Alfio. Kemungkinan sudah menikah, karena dia
fotonya bersama seorang perempuan, dan dari segi wajahnya pun sudah
kelihat berumur (Yo, kalau lu baca tulisan gue, ampuni gue bro!).
Ah, sudah pasti ini
orang kemungkinan nggk asyik, jaga image atau gimana. Gue pun pasrah
dengan penerbangan ke Timur perdana gue. Mimpi buruk!
Tepat jam 11.30 gue
bertemu dengan Alfio. Mas-mas perawakan sedikit acak-acakan, memakai
kaus merah, menyandang carrier, memakai sandal gunung dan celana
pendek.
“Bu Syanti? Saya
Alfio,”
“Ya hallo mas.
Saya Syanti,”
“okeh, tadi datang
jam berapa?’”
Bla bla bla… Basa
basi pun telah kehabisan kata, sampai akhirnya umur kita saling
terungkap. Ternyata Alfio seumur dengan gue! Eeehh buseettt!
Awalnya gue nggak
percaya ya, soalnya dari segi tampang sangat terlihat dewasa (dalam
hati gue tegaskan tua) Alfio, maafin gue !
Oke kita lanjut saja
perjalanan, naik pesawat dan sampilah gue di Badnara Internasional
Pattimura tepat jam 6 pagi waktu setempat.
Kesan awal gue saat
sampai di bandara adalah akget. Karena sangat jauh berbeda dengan
badnara soeta yang notaben besar dan ramai. Beda dengan Bandara
Pattimura, yang kecil dan sedikit kotor dan bau. Gue mencari mushala,
dan gue nggak tau yaa apakah musala nya emang jarang dibersihkan atau
gimana. Yang pasti tempat wudhu nya kotor dan musalanya berdebu.
Kita tinggalkan dulu
cerita di bandara. Beberapa menit kemudian Alfio menghubungi driver
hotel. Tak beberapa lama kemudian kami pun meninggalkan bandara dan
melaju ke Kota Ambon.
Diperjalanan pun
kita berhenti untuk sarapan. Uggh.. laperrr….
Bang Fadli, driver
hotel pun menawarkan kami makan nasi uduk ikan bakar. Kami berhenti
di sebuah warung dan memesan nasi uduk
Awalnya gue kaget,
karena gue ngebayangnin nasi uduk dimana ada tempe, sambel, dan
kawan-kawannya lah. Di Ambon beda men, nasi uduknya sama seperti nasi
uduk pada umunya, cuma lu dikasih ikan bakar sama kuahnya gitu.
Gue pun nanyain, ini
apa namanya. Si Mamapun menjelaskan bahwa nasi uduk di Ambon seperti
ini. Nasinya sama kayak nasi uduk pada umumnya, yang direndam dengan
santan, yang mebuat beda hanya ikan bakar serta bumbu acarnya. Harga
untuk seporsi nasi uduk Ambon ini berkisar dari Rp 25 ribu - Rp
40ribub, tergantung dari ikan yang kamu makan.
Setelah kami makan,
perjalanan kami lanjutkan menuju hotel. Sebelum memasuki kota Ambon,
kamipun berhenti di Jembatan Merah Putih. Konon jembatan ini adalah
penyelamat. Sebelum ada jembatan ini, masyarakat maupun turis harus
menaiki kapal ferry jika ingin ke Kota Ambon.
Sesampai di hotel,
bukannya langsung tidur, namun kami harus menunggu tamu chek out.
Hotel penuh!
Ada sekitar 2 jam
menunggu, akhirnya kami bisa chek in di hotel. Gue pun istirahat ,
namun tidak dengan Alfio. Dia harus menjemput satu tamu lagi dan
menunggu si bos.
Sekitar 2 jam gue
bisa tertidur dengan pulas, sampai akhirnya pintu hotel diketuk.Alfio
bersama seorang wanita paruh baya tersenyum di depan kamar hotel.
Lalu gue pun berkenalan dengan si ibu. Namanya Ibu Monica, warga
asing yang jago berbahasa Indonesia dan telah menjadi warga
Indonesia.
Awalnya gue takut
gitu sih, soalnya takut nanti diam-diaman di kamar, atau si ibu nya
pendiam. Dan ternyata gue salah besar! Ibu Monica sukses membuat gue
kagum dan gue sebagai anak muda tersipu malu! Nanti gue akan
ceritakan bagaimana Ibu Monica, sekarang gue mau ceritakan dulu
pengalaman di Ambon.
Sore pun menjelang,
Alfio mengajak gue dan Ibu Monica untuk main ke Kota Ambon.
Menggunakan mobil hotel dan diantar Bang Fadli, perjalanan gue di
mulai.
Hanya sekitar 10
menit dari hotel, kami singgah di sebuah tempat makan yang cukup hits
di Kota Ambon. Namanya Dapoer Kole-Kole. Tempat yang berada di tepi
jalan, jadi sangat gampang di jangkau. Tempat maakn ini menyajikan
makanan khas Ambon.
(Papeda kuah kuning)
Saat gue melihat
menu, jujur gue nggak tahu apapun soal makanan timur. Alfio pun
menjelaskan bahwa yang wajib dicoba saat menginjakan kaki ke Ambon
adalah makan Papeda. Gue heran, papeda itu apa?
Papeda adalah
makanan khas timur yang terbuat dari sagu. Sagu itu direbus hingga
berbentuk bubur. Cara makannya adalah nanti bubur sagu dipadu dengan
kuah kuning ekor tuna Selain memesan Papeda, kita juga memesan
makanan lainnya.
30 menit kemudian
makanan yang kami pesan pun sampai di meja. Pemilik rumah makan pun
menjelaskan bagaimana cari memindahkann papeda ke dalam piring. Dia
mengeluarkan 2 stik dan mencelupkannya ke dalam kendi yang berisi
papeda. Kemudia dia meggulung-gulung bubur kental dan meletakannya ke
piring.
Kemudian dia
menuangkan kuah kuning ke dalam piring makan kita masing-masing.
Setelah itu sang pemilik menyuruh kami menikmati makanan.
Gue yang nggak sabar
mencicpi pun, tanpa pikir panjang mengambil sendok dan menyantap
papeda. Insting-insting orang Padang pun keluar. Penilaian pertama
gue adalah gue menikmati sendok pertama, karena belum pernah mencoba
sebelumnya. Sendok kedua pun mengatakan “Wah Gila! Seger banget ini
kuah kuning!,” . Sendok ketiga mengatakan “Ikan Tunanya pun
segar!”
Dan beberapa menit
kemudia gue terhening sembari menikmati papeda.
Setelah makan, kami
pun melanjutkan perjalanan ke pusat Kota Ambon. Tujuannya adalah Gong
Perdamaian. Gong ini merupakan pertanda bahwa Ambon adalah kota yang
aman, walaupun dulu pernah terjadi konflik yang tidak ingin diingat
lagi oleh warga Ambon. Nanti gue akan ceritakan lebih detail apa itu
Gong Perdamaian.
Setelah wara-wiri di
Gong Perdamaian, kami pun main ke lapangan yang tidak jauh dari Gong
Perdamaian. Kebetulan saat itu sedang ramai-ramai persiapan tabligh
akbar.
Nah, ada cerita
menarik saat gue sampai di lapangan. Ya seperti lapangan pada umunya,
orang-orang ramai berlari, berolahraga, nongkrong, dan lainnya. Saat
gue sedang melihat-lihat, mata gue tertuju pada satu abang-abang yang
dari tadi meratiin gerak-gerik gue.
Gue tberaniin diri
bertanya “Ada apa ramai-ramai bang?”. Dia pun menjawab “Ada
konser kakak,” Kemudia gue tanya beberapa hal layaknya seorang
traveler yang kepo kaan Ambon Manise. Setelah itu dia pun berbicara
pelan “ Kak, ada uang 2 ribu kah? Saya tidak bawa uang dan ingin
pulang,” ucapnya dengan wajah sangat meyakinkan. Gue kaget dan
tanpa pikir panjang mengeluarkan uang lima ribuan. Dia pun
mengucapkan terimakasih dan langsung pergi.
Gue terdiam, kenapa
seras dejavu di kondisi ini ya? Saat gue sedang ngelamun, Alfio pun
memanggil dan mengajak berkeliling lapangan. Gue pun langsung
berjalan ke arah Alfio dan kita berkeliling.
Saat mengitari
lapangan, gue melihat tulisan AMBON MANISE di pinggir lapangan.
Setelah itu banyak juga yang bermain voly, joggin, dan juga ada
sekumpulan anak-anak muda sedang nongkrong. Mata gue pun tertuju pada
satu patung. Ya, Patung Pattimura. Pahlawan yang berasal dari Ambon
dengan posenya yang epik, menggenggam parang dengan wajah yang
garang!
Gue terpaku beberapa
menit, Ya Allah! Selama ini gue kenal Pattimura hanya dari uang
seribuan, sekarang gue nginjak langsung tanah kelahirannya! Tentu,
gue ambil foto-foto Patung Pattimura.
Setelah menghabiskan
waktu cukup lama di lapangan, perjalanan kami lanjutkan ke Patung
Cristina Matha Tihahu, pahlawan wanita yang berani melawan penjajah!
Salah satu idola gue, yang pasti setelah Nyokap gue dong!
Patung Cristina
berada di daerah ketinggian, jadi ada sekitar 15 menit kami
berkensara ke sana. Sesampai di lokasi gue kembali terpana. Patung
ini sangat tinggi, dan berada di ketinggian.
Untuk sampai di
patung gue harus menaiki anak tangga terlebih dahulu. Dengan semangat
dan perut yang kekenyangan gue langkahkan kaki menuju patung. Ibu
Monica yang sangat gila akan sejarah, tanpa pikir panjang langsung
menaiki tangga! Gue nggak mau kalah sama nenek-nenek!
Dengan ngos-ngos dan
sok keren, gue jajali jenjang dan sampailah di deapn patung. Patung
Cristina dibuat menghadap ke arah laut. Dari atas sini kita bisa
melihat Kota Ambon lho! Pemandangan yang sangat cantik, apalagi saat
itu mrnuju sore. Sembari menikmati hamparan laut, dan kota yang
sedikit tertutup kabut, gue pun melepas sisa-sisa sunset. Cakep!
Magrib menjelang,
kami pun balik kanan dan menuju hotel. Alfio kembali melanjutkan
tugasnya, kembali ke bandara menjemput bos nya.
Sudah mulai bosan
kan baca tulisan gue? Sama! Gue juga capek nih ngetik banyak gini,
tapi demi kenangan gue di masa tua, nggak apalah!
Tepat jam 8, gue dan
Ibu Monica turun ke lobi untuk makan malam. Alfio dengan senyum
ramahnya mengajak kami ke luar.
Di luar ternyata Ibu
Lesca dan Pak Boma telah menunggu, nah beliau berdua inilah bos dari
Jaganti, pihak yang ngundang gue. Setelah kenalan, kami pun langsung
cabut ke tempat makan yang juga terkenal di Kota Ambon.
Namanya Ratu Gurih,
kalau kata Alfio “Ikan bakarnya enak men!”. Dan setelah meemsan
menu, makan dan benar saja coy! Makanannya enak banget!
Ikannya segar!
Bumbunya kerasa! Enak pokoknya!
Setelah kenyang,
kamipun bertolak ke hotel dan istirahat untuk perjalanan selanjutnya.
MENUJU BANDA NEIRA!
Komentar
Posting Komentar