Langsung ke konten utama

DJKJ: Yang Datang Tiba-tiba (3)



Memang keputusan dari hati adalah pilihan terbaik.



"Lo ingat nggak senior yang dulu pacaran sama kakak kelas kita di SMA?"


"Oh yang kacamataan itu? Kenapa?"


"Kayaknya gue naksir dia deh. Hahaha!"


"Eh lu gila ya?"


"Gila karena cinta sayangkuuuuu....."


"Dia udah mau nikah sama pacarnya. Jangan dia deh, yang lain aja!"


"Dia putus tuh sama pacarnya,"


"Sumpah? Demi apa?"


"Yap!"


"Dulu bukannya lu waktu SMA sempat naksir dia kan?"


"Benar sekali Sri Ratu...."


"Hmmm... Yakin nih naksir? Yakin udah move on?"


"Belumlah!"


"Terus?"

"Nggak tau ah. Udah ya, gue mau bales chat dulu ini!"


"Jangan sok sibuk. Siapa juga yang chat lu selain gue?"


"Ya chat abang kacamata lah! Bye cintaku. Mmmuaaach!"


Percakapan di atas tidaklah bohong. Cerita kami berlanjut di hari-hari selanjutnya. Bahkan gilanya, 24 jam terasa sangat kurang, jika bisa ditambah aku ingin menambahnya. Menyenangkan sekali bisa bertukar pesan dengan orang yang kamu suka, bukan?


Bangun tidurku terasa sangat ringan. Wajahku tersenyum tatkala membaca pesan singkat yang masuk ke ponselku.


"Hei Junior. Jangan lupa malam ini kita makan bareng,"


"Iya senior! Gw nggak kan lupa. Gratisan kok di skip? Wkwkwkw"


"Dasar! Yaudah sana siap-siap. Gw mau meeting,"


"SEMANGAT DEMI PUNDI-PUNDI TRAKTIRAN BOSQUE"


"BACOD!"


Tubuhku masih rebahan di kasur, tapi pikiranku melayang entah kemana-kemana. Terasa pipiku hangat dan tak bisa lagi ku kontrol senyum di bibir yang dari tadi melebar tak karuan.


Kututupi mukaku dengan bantal, lalu ku tertawa. Refleks kakiku menendang-nendang ke udara. Sesenang inikah hatiku?


Oke, waktunya mandi. Sudah pukul 10.00 WIB. Harus kerja!


==== 


Dihadapanku pria berkacamata itu sudah duduk sembari memainkankan ponselnya. Aku juga sibuk dengan ponselku yang dari tadi bergetar karena grup kantor sedang ramai. Boleh nggak sih tenang sebentar saja? Aaght!


"Maaf ya, gue bales pesan dari klien dulu. Bentar..."


“Santai bang. Ini gue juga bales pesen dari kantor,”


“Jadi gimana? Masih galau nggak?”


“Mmm.. entahlah ya. Namun gue menikmati hidup yang sekarang sih. Semacam ada ruang gitu yang kosong dan harus segera gue isi. Gimana pacar lo?”


“Masih diam-diaman sih. Tapi yaudahlah, life must go on,  right?”


“Betul!”


Obrolan kami pun mengalir seperti air sungai yang mengalir deras setelah hujan lebat seharian. Mengalir begitu saja tanpa ada halangan dan aku menikmati itu.


Sebuah tatapan yang berbeda, tatapan yang dulu pernah aku impikan di saat masih bangku sekolah. Sekarang tatapan itu bertemu dengan mataku. Semesta, apa lagi ini?


“Eh bang, gue ada fakta lucu nih,”


“Apa? Awas aja kalas gue nggak ketawa,”


“Yee apaan sih. Tapi ini serius lho,” gue pun menjawab dengan menahan tertawa.


“Apa?”


“Lo ingatkan terakhir kita bertemu di mal? Sebelum pulang kita kan ke toilet tu…..”


“Ya, terus?”


“Gue kan nungguin elo di depan kan. Dan dari arah lorong gue melihat sosok yang mengalihkan pandangan gue beberapa detik gitu….


“Terus?” Senior gue menatap gue sembari menyeruput minumannya.


“Dan sosok itu ternyata elo dong. Gue langsung menyebut nama Tuhan untuk segera sadar,” ungkap gue sembari tertawa.


Sosok yang berada di depanku hanya diam dan kemudian tersenyum.


“Lah kenapa elo senyum-senyum gitu? Seram tau!”


“Gue emang penuh pesona sih. Nggak heran gue kalau ada yang terpesona,” jawabnya sembari tersenyum mengejek.


“Sialan lo!”


“Lho mau dentar fakta menarik dari gue?”


“Apaan?”


“Tadi pagi gue telfonan sama nyokap,”


“Terus?”


“Gue nyebut nama elo ke nyokap dan juga ngirim foto lu ke dia,”


“Lho buat apa? Jodohin sama adek lu?” 


“Heh! Adek gue jauh umurnya dari elo, jangan ngaco deh!”


“Ya terus?”


“Buat gue lah!”


“Gimana.. gimana?”


“Ya gue bilang ke nyokap, orang yang di dalam foto ini untuk gue,” katanya dengan matanya yang menatap lurus ke padaku. Tidak, tidak, lurus langsung ke bola mataku! Hampir saja aku menyemburkan kentang yang sedang ku kunyah ke wajahnya yang tetiba terlihat manis itu.


“Jangan bercanda ih, nggak lucu,” gue mulai merasa gelisah. Ya Tuhan, tak tahan kuingin bilang isi doa ku beberapa hari yang lalu kepadanya.


“Siapa yang bercanda?”


“Gue menggigil anjirrrr…..”


“Kenapa? Masuk angin lho?”


“Enggak,” aku tertawa. Benar-benar tertawa! Tentu saja orang-orang yang berada di sekitar kami akan menatap risih. Tapi persetan, aku tertawa!


“Ih nggak jells deh. Kenapa lo?”


Aku menarik nafas dalam dengan senyum yang mengambang lebar. Kemudian kuperbaiki dudukku dan membalas mata yang dari tadi menatapku dalam. Sangat dalam!


“Bang..matamu berbeda kali ini,”


Dia hanya tersenyum. Gila! Gue salah tingkah, namun gue berusaha mencoba menenangkan diri dan menatap lebih tajam lagi ke mata yang dihalangi kacamata itu.


“Saat ulang tahun Jumat lalu, gue nangis-nangis minta ke Tuhan untuk diberikan jodoh sebagai kado. Sebenarnya banyak doa yang gue minta di hari itu dan salah satunya adalah perkara jodoh,”


Mata itu tak kunjung melepaskan tatapannya. Akupun melanjutkan ocehanku yang dari tadi terbata-bata karena ditatap tanpa kedip.


“Dan lucunya saat bertemu dengan elo, gue mendapatkan suatu rasa yang sudah sangat lama gue nggak temukan. Karena tadi elo mancing-mancing gue, yaudah sekalian gue bilang aja yang gue rasakan,”


“Elo nembak gue?”


“Anjing! Enggaklah!” Jawab gue menahan malu. 


“Woi jangan emosi dong. Bercanda gue….” Jawabnya sembari membetulkan posisi kacamatanya dan tertawa. “Bagaimana? Yuk kita pulang,”


“Ha? Kan makanan gue belum habis. Kok pulang sih, kan percakapan kita lagi genting woi!”


“Maksud gue kita pulang kampung. Minggu depan yuk,”


“Ha? Ngapaian?”


“Ketemu orang tua gue dan orang tua elo,” jawabnya dengan senyum mengambang.


“Elo gila ya?”


“Siapa yang gila? Umur gue udah mau kepala tiga, ngapain lagi kan?”


“Ya nggak gitu juga!” 


“Minggu depan? Gue pesan tiket pesawat nih?”


“Elo gila!” 


Dia menjawabnya tertawa dan kembali melepaskan tatapan yang dulu ku damba-dambakan. 



























Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (5)

Puluhan Jumat berlalu begitu saja. Jiwa ku kembali tenang dan tidak ada lagi gejolak yang berarti. Dan kau pemilik mata, yang namanya saja bibirku bergetar menyebutnya, semoga kau berbahagia selalu. Semenjak malam itu aku sadar, bahwa kita berada di dua dimensi yang belum pernah kita pertemukan. Dimensi yang kita paksa untuk tidak bertemu, karena kondisi yang ada. Tapi tidak masalah, aku menikmati setiap getaran yang kau berikan. Terkadang aku menyesali pertemuan mata kita kala itu. Toh, akhirnya kita juga memisahkan mata ini dan pura-pura tidak tahu kan? Aku ralat, bukan 'kita', tapi hanya aku seorang. Sedih juga ya bila diceritakan detail seperti ini? Tapi tidak masalah, kok. Berlalu sudahlah berlalu. Aku menikmati duniaku yang penuh misteri ini. Bagaimana dengan kamu? -- Selamat Tahun Baru! Minggu ini festival yang mempertemukan kita dahulu diadakan kembali. Dan telah aku garis bawahi bahwa kita hanyalah dua manusia yang terlibat urusan kerja. Dalam kesempatan itu kita b...

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (2)

Mata itu. Dua mata dengan sorotan tak biasa yang menembus jiwa tenangku. Berhari-hari jiwa ini tidak karuan. Hanya gara-gara dua bola mata tajam milik kamu. Segala cara sudah aku lakukan supaya tidak lagi memikirkan kamu. Namun, tidak semudah yang aku bayangkan. Mungkin kamu tidak tahu, aku hanyalah lelaki biasa yang disibukan dengan dunia darat dan gunung. Kau sebutkan saja nama-nama gunung besar di negeri kita, sudah ku naiki semua itu. Apa yang ingin kau tahu? Macam-macam peralatan yang dibutuhkan naik gunung? Cara survival? Brand-brand outdoor? Alat yang bagus dan cuaca ekstrem? Semuanya aku tahu. Kau ingin menanyakan jalan daerah mana? Pelosok negeri mana? Biar nanti ku antarkan kamu ke sana. Semuanya aku tahu. Yang tidak aku tahu adalah bagaimana cara menghadapi bola mata kamu yang tanpa seizinku bertemu dengan mataku. Yang menembus jiwaku. Dan itu tanpa aba-aba! Beberapa Jumat aku biarkan diriku terjebak rasa ini. Aku ingin memastikan bahwa ini hanyalah sementara. Nanti juga a...

Dari Jumat ke Jumat: Patah (4)

Apapun yang kamu lakukan, aku semakin jatuh cinta. Kamu tahu, dulu aku benci makanan manis, apalagi es krim. Namun karena kamu suka itu, aku pun mencoba menyukainya. Kamu punya kebiasaan jelek. Kamu suka bicara saat sedang mengunyah. Bibirmu dan pipimu sering bertaburan makanan dan es krim. Namun, kenapa kau cantik saat seperti itu? Jemariku akan menuju bibirmu yang lembut. "Makannya yang pelan sayangku," Kamu hanya mengangguk dan mengulang lagi kesalahan yang sama. Betapa menggemaskannya. Pada suatu hari kamu datang marah-marah kepadaku. Di saat itu juga pekerjaanku menumpuk. Kamu melampiaskan marahmu yang tidak terarah kepadaku. Aku meneriaki kamu dengan kata yang tidak sepantasnya. Kamu diam. Kamu menangis. Aku tersentak. Aku memelukmu, mengecup keningmu. Maafkan aku. Jumat terus berlalu dan berganti. Kamu semakin cantik, kamu semakin rewel, dan kamu semakin berambisi. Aku tetap suka. "Dia sudah berubah? Masih asal-asalan bicara?" Ibuku selalu menanyakan bagaim...