Malam selanjutnya terasa hangat. Obrolan tak berhenti mengalir di siang maupun malam. Mata yang redup itu kembali membundar, bercahaya dan menatap dengan hangat. Ahh betapa sejuknya hari-hariku semenjak malam itu.
Langkahku terasa ringan. Pipiku merona kemerahan setiap berangkat kerja. Ucapan semangat tiada henti mengalir ke ponsel dan ke telingaku. Ah, seperti ini rasanya jatuh hati?
Namun sepertinya Semesta belum mengizinkan aku untuk seanng terlalu lama. Tetiba saja kegoyahan hati datang menghampiri.
Apa benar ini jatuh hati? Atau ini hanya pelepasan hati yang tak kesampaian? Atau sekedar mengisi ruang yang kosong karena dulu ada kebiasaan? Kebiasaan saling mengisi, kebiasaan saling menelfon, kebiasaan bertemu, kebiasaan makan di jam 7 malam, kebiasaan telfonan di jam 10 malam. Atau ini hanya kebiasaan saja? Pengisi kebiasaan?
Apa yakin ku jatuh hati?
Terdiam, sungguh lama aku terdiam mengingat fakta itu.
Mungkin, mungkin ini hanya perasaanku saja. Aku ingin tenang, aku ingin menikmati hidup, aku ingin senang sejenak. Wahai keresahan hati, bisa kau pergi?
Ah, mukaku tak bisa berbohong. Tanganku tak bisa menyembunyikan betapa resahnya dia. Bibirku tak henti bergetar, mataku melihat ke sana kemari seperti orang bingung. Apa yang kupikirkan?
Baru saja bberapa hari tidurku terasa nyenyak, malah malam ini kembali risau. Ragam berkecamuk dalam otakku tentang praduga-praduga yang terjadi kepadaku beberapa hari ini. Apa ini hanya pelarian saja?
Berganti posisi tidurku. Berganti pula bantalku. Kakiku tak kunjung diam, mataku tak kunjung padam, tanganku tak juga henti memegang ponsel. Apa lagi yang ku tunggu? Apa?
“Bagaimana kabarmu? Aku rindu,,”
Sebuah pesan singkat masuk mengiringi hati yang resah. Sial kenapa harus dia yang datang? Kenapa dia selalu menghantui langkahku? Kenapa hatiku tak bisa lepas dari dia? Kenapa?
Ya Tuhan, kenapa mataku terasa panas? Tunggu, kenapa air mataku mengalir deras tetiba? Apa yang terjadi kepadaku? Tenggorokanku sakit menahan isak. Sangat sakit!
Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Rindu tak tertahan, sangat tidak bisa kutahan lebih lama. Meamng sakit, sangat sakit. Tapi aku rindu. Kulepaskan suara dari kerongkonganku, menangis aku sejadi-jadinya malam itu.
Selepas-lepasnya!
Malam semakin berlalu. Tangisku mulai mereda, mataku membengkak dan nafasku sedikit terasa sesak.
Kududuk bersandar di sudut kamar. Kaki kutekukan dan kutundukan kepalaku.
Apa lagi?
Apa lagi yang harus kulakukan supaya bayangan itu menjauh?
Kenapa langkahku tak bisa lepas dari dia?
Boleh aku bahagia saja?
Bolehkah segala sakit yang lampau itu hilang dan digantikan dengan tawa yang baru?
Ya Tuhan, aku mohon!
Ku tarik nafas dalam-dalam. Ku tarik sangat dalam. Kuraih ponselku dan kubuka pesan dari dia yang membuat ku goyah. Dari lelaki yang pernah ku sebut ‘priaku satu-satunya’. Aku balas pesannya dengan hati berkecamuk.
“Bisakah kamu pergi saja?”
Saat ingin ku kirim pesan itu, tanganku bergetar. Beberapa menit ku tatap kalimat yang akan kukirim. Tak lama kemudian aku hapus dan kuketik ulang…
“Hai…”
Komentar
Posting Komentar