Langsung ke konten utama

DJKJ: Yang Datang Tiba-tiba (4)


Malam selanjutnya terasa hangat. Obrolan tak berhenti mengalir di siang maupun malam. Mata yang redup itu kembali membundar, bercahaya dan menatap dengan hangat. Ahh betapa sejuknya hari-hariku semenjak malam itu.


Langkahku terasa ringan. Pipiku merona kemerahan setiap berangkat kerja. Ucapan semangat tiada henti mengalir ke ponsel dan ke telingaku. Ah, seperti ini rasanya jatuh hati?


Namun sepertinya Semesta belum mengizinkan aku untuk seanng terlalu lama. Tetiba saja kegoyahan hati datang menghampiri. 


Apa benar ini jatuh hati? Atau ini hanya pelepasan hati yang tak kesampaian? Atau sekedar mengisi ruang yang kosong karena dulu ada kebiasaan? Kebiasaan saling mengisi, kebiasaan saling menelfon, kebiasaan bertemu, kebiasaan makan di jam 7 malam, kebiasaan telfonan di jam 10 malam. Atau ini hanya kebiasaan saja? Pengisi kebiasaan?


Apa yakin ku jatuh hati?


Terdiam, sungguh lama aku terdiam mengingat fakta itu.


Mungkin, mungkin ini hanya perasaanku saja. Aku ingin tenang, aku ingin menikmati hidup, aku ingin senang sejenak. Wahai keresahan hati, bisa kau pergi?


Ah, mukaku tak bisa berbohong. Tanganku tak bisa menyembunyikan betapa resahnya dia. Bibirku tak henti bergetar, mataku melihat ke sana kemari seperti orang bingung. Apa yang kupikirkan?


Baru saja  bberapa hari tidurku terasa nyenyak, malah malam ini kembali risau. Ragam berkecamuk dalam otakku tentang praduga-praduga yang terjadi kepadaku beberapa hari ini. Apa ini hanya pelarian saja?


Berganti posisi tidurku. Berganti pula bantalku. Kakiku tak kunjung diam, mataku tak kunjung padam, tanganku tak juga henti memegang ponsel. Apa lagi yang ku tunggu? Apa?



“Bagaimana kabarmu? Aku rindu,,”


Sebuah pesan singkat masuk mengiringi hati yang resah. Sial kenapa harus dia yang datang? Kenapa dia selalu menghantui langkahku? Kenapa hatiku tak bisa lepas dari dia? Kenapa? 


Ya Tuhan, kenapa mataku terasa panas? Tunggu, kenapa air mataku mengalir deras tetiba? Apa yang terjadi kepadaku? Tenggorokanku sakit menahan isak. Sangat sakit!


Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Rindu tak tertahan, sangat tidak bisa kutahan lebih lama. Meamng sakit, sangat sakit. Tapi aku rindu. Kulepaskan suara dari kerongkonganku, menangis aku sejadi-jadinya malam itu. 


Selepas-lepasnya!


Malam semakin berlalu. Tangisku mulai mereda, mataku membengkak dan nafasku sedikit terasa sesak.


Kududuk bersandar di sudut kamar. Kaki kutekukan dan kutundukan kepalaku. 


Apa lagi?

Apa lagi yang harus kulakukan supaya bayangan itu menjauh?

Kenapa langkahku tak bisa lepas dari dia?

Boleh aku bahagia saja?

Bolehkah segala sakit yang lampau itu hilang dan digantikan dengan tawa yang baru?

Ya Tuhan, aku mohon!


Ku tarik nafas dalam-dalam. Ku tarik sangat dalam. Kuraih ponselku dan kubuka pesan dari dia yang membuat ku goyah. Dari lelaki yang pernah ku sebut ‘priaku satu-satunya’. Aku balas pesannya dengan hati berkecamuk.


“Bisakah kamu pergi saja?”


Saat ingin ku kirim pesan itu, tanganku bergetar. Beberapa menit ku tatap kalimat yang akan kukirim. Tak lama kemudian aku hapus dan kuketik ulang…


“Hai…”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (5)

Puluhan Jumat berlalu begitu saja. Jiwa ku kembali tenang dan tidak ada lagi gejolak yang berarti. Dan kau pemilik mata, yang namanya saja bibirku bergetar menyebutnya, semoga kau berbahagia selalu. Semenjak malam itu aku sadar, bahwa kita berada di dua dimensi yang belum pernah kita pertemukan. Dimensi yang kita paksa untuk tidak bertemu, karena kondisi yang ada. Tapi tidak masalah, aku menikmati setiap getaran yang kau berikan. Terkadang aku menyesali pertemuan mata kita kala itu. Toh, akhirnya kita juga memisahkan mata ini dan pura-pura tidak tahu kan? Aku ralat, bukan 'kita', tapi hanya aku seorang. Sedih juga ya bila diceritakan detail seperti ini? Tapi tidak masalah, kok. Berlalu sudahlah berlalu. Aku menikmati duniaku yang penuh misteri ini. Bagaimana dengan kamu? -- Selamat Tahun Baru! Minggu ini festival yang mempertemukan kita dahulu diadakan kembali. Dan telah aku garis bawahi bahwa kita hanyalah dua manusia yang terlibat urusan kerja. Dalam kesempatan itu kita b...

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (2)

Mata itu. Dua mata dengan sorotan tak biasa yang menembus jiwa tenangku. Berhari-hari jiwa ini tidak karuan. Hanya gara-gara dua bola mata tajam milik kamu. Segala cara sudah aku lakukan supaya tidak lagi memikirkan kamu. Namun, tidak semudah yang aku bayangkan. Mungkin kamu tidak tahu, aku hanyalah lelaki biasa yang disibukan dengan dunia darat dan gunung. Kau sebutkan saja nama-nama gunung besar di negeri kita, sudah ku naiki semua itu. Apa yang ingin kau tahu? Macam-macam peralatan yang dibutuhkan naik gunung? Cara survival? Brand-brand outdoor? Alat yang bagus dan cuaca ekstrem? Semuanya aku tahu. Kau ingin menanyakan jalan daerah mana? Pelosok negeri mana? Biar nanti ku antarkan kamu ke sana. Semuanya aku tahu. Yang tidak aku tahu adalah bagaimana cara menghadapi bola mata kamu yang tanpa seizinku bertemu dengan mataku. Yang menembus jiwaku. Dan itu tanpa aba-aba! Beberapa Jumat aku biarkan diriku terjebak rasa ini. Aku ingin memastikan bahwa ini hanyalah sementara. Nanti juga a...

Dari Jumat ke Jumat: Patah (4)

Apapun yang kamu lakukan, aku semakin jatuh cinta. Kamu tahu, dulu aku benci makanan manis, apalagi es krim. Namun karena kamu suka itu, aku pun mencoba menyukainya. Kamu punya kebiasaan jelek. Kamu suka bicara saat sedang mengunyah. Bibirmu dan pipimu sering bertaburan makanan dan es krim. Namun, kenapa kau cantik saat seperti itu? Jemariku akan menuju bibirmu yang lembut. "Makannya yang pelan sayangku," Kamu hanya mengangguk dan mengulang lagi kesalahan yang sama. Betapa menggemaskannya. Pada suatu hari kamu datang marah-marah kepadaku. Di saat itu juga pekerjaanku menumpuk. Kamu melampiaskan marahmu yang tidak terarah kepadaku. Aku meneriaki kamu dengan kata yang tidak sepantasnya. Kamu diam. Kamu menangis. Aku tersentak. Aku memelukmu, mengecup keningmu. Maafkan aku. Jumat terus berlalu dan berganti. Kamu semakin cantik, kamu semakin rewel, dan kamu semakin berambisi. Aku tetap suka. "Dia sudah berubah? Masih asal-asalan bicara?" Ibuku selalu menanyakan bagaim...