Kita nggak akan pernah tau kapan yang namanya ajal akan
menjemput kita. Entah dimana, kapan dan bagaimana kondisi kita ketika Sang
Pencabut Nyawa datang. Kita manusia hanya di tugaskan untuk membekali diri,
bekal yang akan di bawa ketikasang maut datang.
Siapa sih yang mau pergi cepat disaat sedang di anggap?
Siapa sih yang mau cepat menghadapi kematian ketika mimpi
itu di depan mata.
Setiapmahluk yang bernyawa itu pasti akan menemui namanya
kematian.
Kesedihan akan menghantui pihak yang di tinggal karena
kehilangan salah satu belahan tawa mereka, sedih itu di rasakan sobat karib,
kehilangan salah satu sumber pengaduannya.
Ya, itulah yang terjadi pada senior gue Randi Sanli, yang
meninggalkan kami dan pergi menemui sang Pencipta, kemarin pada tanggal 20 Juni
2013. Beliau merupakan senoir gue.
Kenapa gue menggunakan beliau? Karena dia adalah salah satu
orang yang gue hargai dan hormati dalam proses pembelajaran gue dalam dunia
kepenulisan dan teater.
Beberapa minggu yang lewat, senior gue ini dan semua anak
Unand angkatan 2010, melakukan KKN ( Kuliah Kerja Nyata). Dan beliau
mendapatkan tempat di negeri Tarusan, Pesisir Selatan.
Kejadian itu bermula, ketia sesaat setelah pelaksanaan KKn,
beliau entah ada apa. Tiba-tiba ingin pergi main air dan berenang, berdasarkan
sumber yang gue dengar beliau dulu pernah main disitu dan pernah mengambil
sebuah foto dan menjadikannya foto di fesbuk.
Dan ketika beliau sedang berenang, ada stumbuhan yang
melilit kakinya dan menariknya ke dalam laut.
Kejadian itu di ketahui oleh kawannya, kita panggil saja Bang Tono.
Abang ini melihat dan ingin menolong, dan kondisi semakin tidak terkendali
karena Bang Tono ini tidak bisa berenang. Dan dengan segala usaha akhirnya dia
menolog dengan jala ikan.
Tapi malang emang tak dapat di tolak, daya tarik Bang Tono
tidak sekuat tumbuhan yang melilit itu. Dan menyebabkan Bang Randi semakin jauh
tenggelam. Setelah beberapa waktu, barulah datang orang untuk menolong untuk
menarik, setelah Bang Tono inii teriak minta tolong.
Entahlah, gue nggak peduli lagi dengan desas desus. Toh jika
itu kebenaran sejati, semuanya tidak ada gunannya. Kakrena kesunyian itu telah
datang.
Malam Jumat gue dengerin kabar duka ini danlangsung menuju
rumah duka dengan diantar oleh sohib gue Hanafi ke daerah yang tidak terlalu
jauh dari Teluk Bayur. Sesampainya di rumah duka, ternyata sudah rame dii
datangi oleh teman seangkatan gue dan senior yang berada di sastra. Dan dosen
beserta jajaran rektorat juga hadir malam itu. Suasana duka yang dalam terasa
kental malam ini, diiringi dentuman angin yang mencoba pelan, tidak mau berisik
dan mengganggu titik-titik air mata yang hadir menemani beberapa puluh manusia.
Malam semakin larut, itu tidak berarti apa-apa bagi kami
yang di tinggalkan. Dan pada malam hari itu juga, beberapa senior langsung
menuju Batusangkar tepatnya di Sunaga Tarab.
Malam harinya kami terpaksa meninggalkan rumah duka, untuk
kembali ke tempat kami masing-masing. Dan gue kembali ke kos. Entah apalah yang ada dalam pikiran gue,
serasa ditampar mendapatkan berita duka ini.
Randi Sanli,
Dimata gue dia adalah sosok yang sangat humble dan
bertanggung jawab. Dia merupakan pemain theater dan juga sebagai ketua UKM
teater yang baru di angkat di fakultas gue. Dan tambahan dia juga seorang
penulis cerpen anak. Ada juga puisi dan cerpen sastra lainnya yang sudah keluar
di beberapa koran.
Kenapa gue cukup terpukul dengan kehilangan senior gue?
Setiap bertemu di fakultas dia selalu bilang seperti ini’’
Syanti, baca puisi donk, ada yang thuthuk dan atha yang berdhili.’’ Kemudian
dia akan tertawa dan otomatis gue akan jengkel.
Kenapa beliau kayak gitu, karena dulu awal gue sastra
Indonesia. Ada acara rutin kayak penampilan puisi dan teater gitu. Jadi gue
pernah ikut dalam pembacaan puisi. Dan kebetulan gue cadel D!
Tau ajalah setiap bunyi yang ada huruf D apa yang akan
kalian dengar.?
Dan malam menegangkan itu sampai, dan gue dengan rasa
semangat yang berapi-api membaca puisi itu dengan benar. Ya!dengan benar
saudara-saudara, sebaik mungkin supaya jelas kata yang ada huruf D nya.
Tapi sayang, tuhan berkata lain, semakin gue berusaha dengan
benar menyebut D, semakin gue nggak jelas lagi bacanya.
Dan sejak malam itulah, berbagai celaan dan hinaan ( alah!
Lebay!) gak ding. Itulah penanda bagi gue oleh senoir, hingga gue bisa kenalan
dengan ppara senior waalu malu ini nggak tertahankan.
Kembali kecerita awal,
Ya, gue salah satu mahluk yang merasa kehilangan akan sosok
Randi Sanli, sebagapi penghormatan terakhir, gue dan kawan-kawan, dan para
senior akan berencana memberikan penghormatan terkhir dengan cara ikut
menyelenggarakan jenazahnya sampai usai.
Keesokan harinya, sekitar jam 10 pagi, kami berangkat dari
rumah duka dengan berbagai macam perasaan dan beberapa pihak yang matanya masih
menahan mengeluarkan air mata.
Apalagi keluarga yang di tinggal, gue merasakan duka itu.
Sebelum jenazah di mandikan, gue memberanikan diri untuk
melihat wajahnya untuk terakhir kali, jujur! Ini pertama kalinya gue ngeliat
jenazah secara langsung. Tanpa terasa
air mata gue jatuh, dan tangis nggak bisa gue hindari. Karena perasaan
gue bercampur
Aduk, karena mengingatkan gue akan beberapa waktu silam,
kepergian kakak tiri gue. Yang sekarang duka itu masih tergores dalam di hati
gue.
Entahlah, gue menangisi apa, tak sanggup menghentikan
langsung air mata dan langsung gue kalungkan selendang yang dari tadi gue
pegang dan tutupi wajah gue dan menagis sepuasnya. Ya sepuasnya tanpa ada orang
yang tau.
Kemudian jenazah di mandikan dan langsung di bawa dengan
ambulans, menuju kota Batusangkar di kenagarian Sungai Tarab.
Dalam perjalanan, hanya keheningan mengisi perasaan kami,
berkata seadanya dan sesekali mencoba menghibur diri dengancandaan dan berbagai
jenis tawa yang gue tau itu sangat di paksakan. Dan kami hanya menikmati dengan
gaya kami masing-masing.
3 jam lebih kami mengarungi jalan duka ini, sampailalh di
rumah duka. Dan tanpa pikir panjang, kami langsung mengambil wudhuk dan
menyolatkan jenazah sang Randi.
Selesai shalat, jenazah di bawa ke makam yang telah
disiapakan beberapa waktu lalu. Yang para penggalinya pasti terpaksa menggali
dan membuatkan tempat istirahat untuk sanaknya yang telah pergi.
Angin meniup dengan keras dan tumbuhan bergoyang sebisanya,
karena mencoba menghentikan semua ini, seolah mereka tidak terima akan kepergian
salah satu pemujanya. Ya! Senior gue juga merupakan seorang penulis puisi.
Bahkan alampun tak siap intuk kepergiannya. Tapi apa daya,
kewajiban ini harus di selesaikan.
Air mata sang pihak keluarga seolah takakan habis, walaupun
habis merekatidak akan peduli. Gue berkecamuk kembali, ya! Kangen akan kakak
gue, yang bahkan gue dan Papa nggak bisa mengantarkan jenazahnya sampai tempat
terakhir
Jenazahpun di masukan ke liang lahat, gumpal demi gumpal
tanah mulai menutupi dan menguburkan sosok Lembut ini. Air matapun mulaiberjatuhan, isak tangis
mulai bertebaran. Dan doa lah yang bisa kami kirimkan. Ya! Doa untuk ketenangan
beliau di sana.
‘’Randi! Liat nak, teman mu ramai mengantar mu! Ramai dari
Padang nak! Liat nak! Randi!’’, teriakan itu memevahkan susana, itulah teriakan
dari Sang Ayah. Ya! Papanya bang Randi. Tangispun pecah, tidak bisa kami
hindari lagi, seandainya lo disana! Nggak akan bisa lo nahan air mata!
Tangispun pecah, gue juga nangis terisak! Mengingat betapa
lukanya seorang orang tua akan kehilangan anaknya. Gue ngerasakan itu.
Semua yang tinngal hanya bediri dan menahan perasaan mereka
masing-masin. Kami tidak mau memberatkan jenazah Randi. Hantaran doa kembali
kami lantunkan dan menahan isak air mata.
Selesai sudah, kami kembali ke rumah duka dengan perasaan
yang sangat kacau. Dan meminta izin kepada pihak keluarga untuk kembali lagi ke
Padang.
Perjalanan pulang kami lewati dengan perasaan masing-masing
dan sesekali mengusap air mata.
Selamat jalan Randi Sanli,
Semoga Sang Khalik menerima mu di sana,
Kami selalu mendoaakan mu.
Komentar
Posting Komentar