Gempa merupakan pergeseran
lapisan atau lempengan yang berada di dasar bumi yang terjadi dalam periode tertentu.
Itulah potongan pelajaran
geografi yang masih gue ingat sampai sekarang. Kenapa tidak coba? Gue tinggal
di daerah yang termasuk dalam list
favorit gempa. PADANG!
Kalau nggak gempa, nggak
Padang namanya. Bahkan gempa telah menjadi tradisi yang turun temurun di
masyarakat Padang. Mereka tidak akan terganggu dengan bergoyangnya tanah. Ya,
paling mereka berhamburan keluar rumah sambil teriak GEMPA........!
Hehehe!
Terus di luar Aril Noah telah
menunggu sambil berkata ‘’KALIAN SEMUA LUAR BIASA?’’
Zzz! Tragis.
Ini serius loh, palingan yang
merasa sedikit terguncang adalah para pendatang dari luar kota Padang dan di
luar Sumbar. Bisa gue pastikan, mereka akan pikiir beberapa kali untuk kembali
ke Padang. Hehehe! Ya, saking takutnya.
Masih terbayang dalam ingatan
gue kejadian beberapa tahun lalu ketika gempa besar melanda Sumatra Barat dan
sekitarnya. Beberapa bangunan besar di kota Padang itu hancur dan rusak berat.
Dan para korban juga berjatuhan. Saat itu kira-kira gue baru kelas 2 SMP (
sebenarnya gue Mts). Dan saat itu gue masih berada di kampung tercinta,
Sungayang.
Pelajaran pagi ini adalah
sosiologi, yang dimana di ajari oleh kita panggil saja ibuk Tis.
‘’karena ibu ada keperluan ke
kantor, jadi ibu akan meninggalkan catatan. Dan Syanti, kamu sekretaris tolong
kamu catat di papan tulis materi ini,’’ kata beliau sambil menyerahkan
seperangkat spidol dan buku pengantar Sosiologi.
‘’baik buk,’’ guepun ngambil
tuh buku dan langsung ngesot di papan.
Kamipun tetap seperti
kebanyakan anak-anak labil lainnya, yang namanya mulut nggak akan berhenti
bicara dan mempergunjingkan kelakuan anak lokal sebelah yang lagi PDKT dengan
anak lokal kita.
Dan satu hal gaya anak labil,
mereka akan bisik-bisik sambil menatap target. Dan tentu, perang akan mulut
akan terjadi setelah itu karena salah paham. Dan gue sebagai sekretaris yang
baik hanya sesekali berbalik melihat tuh anak-anak dan kembali ngesotin jari di
papan tulis.
Beberapa menit kemudian gue
merasakan getaran yang cukup menggetarkan hati dan raga gue ( alah! Sok punya
perasaan gue)! Dan tanpa pikir panjang gue teriak keluar kelas dan GEMPA GEMPA
WOI......! LARI...!
Dan benar saja, seluruh kelas
dan seisi sekolah berlari keluar kelas dan teriak teriak gempa. Wah! Apa daya
anak ingusan seperti kita dalam menghadapi gempa selain teriak-teriak nama sang
pencipta?
Terus kalau nggak nangis
keliling lapangan.
Bisa juga alternatif lain, ke
kantin, ambil gorengan
Dan ada juga kejadian lucu dan tragis dalam
kejadian di sekolah.
Ketika kami sudah di luar ada
yang nagis dan ada juga gobloknya dia ketawa. Ya! Ketawa. Kejadian lucu itu
terjadi ketiaa keluar kelas.
Di kelas 2c,’’ketika sedang
belajar. Tiba-tiba kan gempa tuh, gurunya bukan nyelamatin kita, eh malah
dianya yang lari keluar duluan,’’ cerita mereka sambil bernada kesal.
‘’kalau di kelas kita lain
lagi. Ketika kami berlari, eh sepatu pak Gurunya copot, dan terbang ke depan.
Kami bukannya ketakutan, eh malah ketawa meliatin sepatu terbang,’’ cerita 2d
sambil ketawa ngakak.
Gila dah ini orang yah!
‘’di kelas kita cukup miris
sih, lho nggak akn sanggup ngeliatnya,’’ Joko bicara dengan nada serius.
‘’apa apa apa?’’ tanya kami penasaran dengan
mendesak Joko buat cerita.
‘’kalian tau Pak Dil kan?gue
nggak sengaja ngelindes tu bapak saat lagi ari,’’ kemudian Joko diam.
‘’hah! Kok bisa ? tanya kami
serempak.
‘’ceritsnyna begini, ketika
pelajaran bahasaArab, pak Dil sedang asiknyamenerangkan pelajaran di depan,
kemudian terjadi gempa. Entah kenapa, bapak tu jatuh dan nggak sengaja aku yang
lagi lari nginjek badan bapak. Ya namanya orang panik gimanalagi, terus bapak
berdiri lagi dan lari dah bareng kita,’’ ceritnyanya dengan nahan ketawa.
‘’buset! Parah kamu Joko.
Badan bapak Dil kan kurus banget, eh bisa kempes mah kalau kamu yang nginjak’’,
sambung Edo, ‘’hahaha!’’ kami tertawa.
Kemudian gue liat sekeliling,
ada yang nangis, ada yang mengap-mengap cari udara, ada yang termenung sambil
komat kamit, ada yang ngerumpi( sempet juga) dan ada yang loncat-loncat (Loh?).
Dan gue liat para guru pada
sibuk nelfon sanak saudaranya, nanyain keadaannya. Karena khawatir akan adanya
gempa susulan, pada saat itu juga kami di pulangkan.
Sesampai di rumah, gue liat
orang-orang pada rame di luar. Yaiyalah! Pada takut bung, akan gempa susulan.
Tapi emang dasarnnya gue
kampret, gue tetapmasuk ke rumah buat ganti baju dan makan. Wah! Mental yang
luar biasa pemirsa. Tapi gue minta di temanin sama mama gue lah, nggak berani
juga sendirian. Hehehe! ( penonton pun kecewa)!
Lalu papa yang tadinya berada
di kedai jahitnya, pulang ke rumah melihat apakah anggota perangnya masih utuh
apa nggak. Dan ternyata masih utuh, palingan kekurangan ion karena ketakutan.
Huhuhu.
Kemudian papa mendekati Ajis,
adek gue yang nomor tiga,
‘’ngapain aja kamu tadi pas
gempa?’’ tanya papa sambil duduk dekat Ajis.
‘’Ajis teriak Allahuakbar pa, terus keluar,’’ jawab
adek gue sambil mempraktekan ekpresinya ketika gempa.
‘’ada satu hal yang kamu lupa
Jis,’’ kata papa lagi.
‘’eh, apa Pa?’’
‘’ini papa ajarin, ketika ada
gempa itu, tangan kanan kamu megang titit, dan tangan kiri megang telinga,’’
kata papa gue sambil nahan ketawa.
‘’eh, emang berhenti gempanya
pa?’ kata adek gue dengan polosnya.
‘’liat aja nanti,’’ kata
papa.
Gue dan adik-adik gue hanya
ngangguk jelas dan mama geleng-geleng aja.
Dan beberapa menit kemudian papa pergi lagi ke
kedai jahitnya, yang saat itu masih dekat dengan rumah.
Dan siangnya mala petaka yang
spektakuler ( yang ditakutkan ) itu terjadi.
Gue beserta para tetangga
yang sedang di luar, dikejutkan dengan goncangan yang sangat besar, melebihi
goncangan tadi pagi.
Dan gue bersama anak-anak
lain yang seumuran gue hanya bisa bilang allahuakbar
Allahuakbar , begitu juga yang di lakukan orang dewasa lainnya.
Dan tau nggak apa yang di
lakukan oleh adik gue Ajis?
Yap! Dia mempraktekan ajaran
Papa, tangan kanannya megang titit, dan tangan kirinya megang kuping. Dan dia
teriak-teriak juga.
Ya Allah! Gue mau ketawa
entah ketakutan nggak tau lagi dah! Yang jelas takut gue lebih besar.
Kemudian gue lanjut teriak teriak,
Bunyi gemuruhpun terdengar
sangat seram bagi kami, pecahan piring dan keramik yang jatuh ke lantaipun
beradu dan rumah bergoyang dengan dasyat.
Lalu Inul pun datang ‘’goyang dombret.. goyang dombret..
Zzzz! Nggak ding!
Beberapa detik kemudian baru
goncangan itu berhenti dengan pecahnya tangis beberapa bocah kecil dan di ikuti
oleh merengnya bibir gue nahan tangis. Huhuh!
Beberapa menit kemudian
terdengar riuhnya bunyi kendaraan menuju
ke arah Andaleh ( sebuah nagari yang terletak di dataran yang lebih tinggi) dan
kami sekampungpun heran, ada apa hingga riuh seperti itu, lalu gue beserta para
tetangga menuju ke tepi jalan, melihat apa yang terjadi sehingga begitu ramai
mobil dan motor menuju atas.
Sesampainya di tepi jalan,
tiba- tiba...
‘’aia gadang,,,,aia gadang... ( air bandang..air bandang!)
Berrrr!
Mendengar itu, para tetangga
dan emak gue langsung lari.
Nggak neko-neko larinya bung, gue yang lagi
berdiri bengong di tarik dengan indah ( dengan kasar)
‘’cepet cepet nak! Ada air
bandang!’’, kata mama berlari sambil sesekali memperbaiki sarung yang
dikenakannya.
‘’ma, aku nggak ada sendal
ini. Gimana mau lari coba?”’ lalu gue berhenti dan cari tempat duduk.
‘’ah! Nggak usah cerewet!
Cepet lari, itu adik-adik dan para tetangga udah pada lari ke atas bukit,’’
kata emak gue sambil menarik gue dan berlari menuju ke atas bukit.
Suasana tegang dan panik itu
pun di tambah dengan banyaknya mobil mewah dan plat merah menuju ke Andaleh.
Tentu masyarakat akan mebenarkan tentang air bandang ini.
Gue dan para tetangga terus
berlari ke atas bukit,
‘’lah ni jalannya kemana? Ini
tidak pernah dilewati sebelumnya,’’ kata Uni Nis, sambil celinguk sana sini
melihat jalan.
‘’ah! Biarlah, yang penting
kita selamatkan dulu diri kita dan anak-anak. Buat jalan baru saja,’’ sambung
bapak-bapak yang lupa gue siapa waktu itu.
Kemudian bapak-bapak itu maju
dan mengeluarkan parang sambil menebas ranting dan semak yang menghambat perjalanan
kami.
Gue beserta anak-anak lainnya
sambil jalan terus teriak Allahuakbar
Allahuakbar karena kami ketakutan, membayangkan jika
negeri kami direndam air. Seperti yang terjadi Tsunami di daerah Aceh, beberapa
tahun silam.
Kami terus meneriakan takbir
sambil terus berjalan, sampai berhenti di suatu tempat. Kemudian Uni Nis, mengeluarkan Alquran yang dari tadi
di genggamnya.
‘’baca surat Yasiin, baca itu,’’ teriak beberapa
orang dewasa kepada Uni Nis.
‘’baiklah, auzhubilahi..........’’, Uni Nis memulai membacakan ayat suci Alquran, dan
kami semuapun mengikutinya.
‘’Yasiin....,’’ teriak kami bersama-sama. Tapi pas awalnya aja, ayat
setelah itu kami diam aja karena nggak dapet. Huhuhu.
Kami tetap teriakan takbir
begitu juga para orang dewasa, mereka sibuk dengan teriakannya dan mejaga
anak-anaknya.
Beda dengan gue dan adik-adik
gue, kami malah main tepuk-tepukan ( baca : membunuh nyamuk) yang dari tadi
menyentuh gue! Wah! Pelecehan ini.
Lantunan merdu ayat alquran
pun beradu dengan tepuk tangan dari kami para bocah.
‘’walqurani......plak!
‘’nilhakim...plak!
Miris.
Kemudian kami memutuskan
untuk pindah ke atas lagi karena serangan para nyamuk yang semakin brutal.
Dan tidak lupa, kami teriak-teriak
sambil berpegangan tangan dan maju!
Dan gue harus menahan perih
karena nggak pakai sendal ke atas bukit, kaki gue harus mencium para duri
dengan sangat mesra!
Tanpa terasa kami telah
mencapai puncak bukit dan melihat ke arah bawah.
Semenit berlalu.... tidak ada
terjadi apa-apa..
10 menit.. masih tetap tidak
ada apa-apa..
Satu jam.....aman-aman saja.
Sampai akhirnya papa nelfon
Mama .
‘’hallo ma, dimana?’’,
‘iya, Mama diatas bukit Pa,
dengan anak-anak dan tetangga,’’
‘’ngapain di atas bukit?’’
‘’eh kok malah nanya pa? Kan
ada banjir bandang,’’
‘’banjir bandang? Siapa yang
bilang?’’
‘’itu banyak orang yang lari
ke atas,’’
‘’hahahaha! Itu hanya isu MA,
sudah! Kalian semua cepat turun, nanti papa jemput,’’
‘’eh, iya!
Kemudian gue saling tatapan
dengan mama,
Mama natap gue,
Gue natap mama,
Adik gue natapin gue,
Dan gue natapin kaki gue.
Perih sob!
Karena isu kampret itu gue
harus merelakan kaki gue ini berciuman dengan duri dan kerikil.
Ah!
Lalu kamipun turun dengan
perasaan yang berkecamuk, entah apa lah yang ada dalam pikiran para orang
dewasa. Yang jelas kami anak-anak ini hanya bisa menepuk para nyamuk yang
menggoda kami.
Ternyata Papa telah menunggu
kami di kaki bukit dan Ajis langsung berlari ke arah Papa.
‘’besar gempanya PA,’’ kata
adik gue.
‘’iya, gimana? Kamu lakukan
tidak seperti yang papa bilang?’’
‘’ada Pa, tapi tetap aja
gempa,’’ jawab adik gue polos.
Hahahaha! Kamipun tertawa
lepas, padahal ketakutan akan gempa susulan masih ada.
Sesampainya di rumah, Papa
beserta tetangga yang lainnya memutuskan untuk mendirikan sebuah tenda, takut
nanti malam ada gempa yang lebih besar.
Ternyata ada hikmah yang
sangat indah dibalik peristiwa gempa, kita bertetangga bisa lebih dekat dan
saling membahu membuat tempat yang aman dan nyaman untuk malam ini. Dan kami
anak-anak bisa tidur dengan nyenyak, dan orang dewasa asik dengan obrolannya.
Dan ada lagi kemarin,beberapa
saat yang lalu terjadi gempa yang pusatnya di Pesisir, nah beberapa hari
kemudian gue pulang ke kampung, dan bertamu ke rumah nenek.
Setelah salam cium tangan dan
cipika- cipiki, gue dan mama dudukdan bercerita dengan kakek dan nenek ( orang
tua mama gue).
‘’kemarin gempa ya Nti di
Padang?’’ tanya nenek.
‘’iya Nek, pusatnya di
Pesisir Selatan,’’
‘’oh tidak apa-apa kan
kamu?’’
‘’ah nggak apa kok Nek,
paling takut aja, heheh!’’
‘’syukur deh, kamu hati-hati
aja,’’ kata nenek gue.
Kemudian kami melihat berita,
dan kembali ngobrol,
‘’eh, kalau tidak salah gempa
yang di Padang, dua kali ya Nti?’’, tanya kakek.
‘’iya kek, kemarin tu pas
malamnya, weh! Kayak di hentak dari bawah, kek. Keras. Tapi sebentar cuma,’’
jelas gue.
‘’lho? Kok nggak kerasa
sampai disini yah?’’ tanya kakek tanpa ada rasa dosa dan takut sama sekali.
‘’hush! Ayah ada-ada saja,
bersyukur tidak terasa oleh kita disini, ini nggak malah nanya nggak kerasa,’’
Mama gue menyanggahi bokapnya.
‘’ya kan aneh aja tidak
terasa,’’ kakek gue nggak mau kalah,
‘’hush! Kakek ini ada-ada
aja, aku aja yang ngerasain gemeteran, ini malah pingin!’’ gue nimpuli.
‘’hahahaha!,’’ kakek gue
tertawa.
‘’hahahahah!’’ gue tertawa
‘’hahahahah,’’ nenek gue tertawa,
‘’hahahahah.’’ Mama gue
tertawa.
Kesimpulannya, gempa bikin
kita tertawa.
Hahahah!
Garing!
Komentar
Posting Komentar