Kalau boleh gue ngomomg, salah satu kasta di dunia manusia yang paling bertahan hidup itu adalah anak kos. Ya kecuali bokap nyokap elu tajir ya Allhamdulilah. Namun bagi golongan jomblowan-jomblowati yang anak petani, pedagang, dan honorer desa beda ceritalah ya.
Di kosan kita harus siap sedia dalam ketenangan hati dan pikiran. Ibarat dalam perang, kita harus punya strategi khusus untuk bisa tetap akur, tenang, adem-ayem di dalam kosan.
Salah satunya dalam pemakaian listrik.
Sebagai kaum jomblowati, kita ingin terlihat kece dong ya pergi ke kampus. Jadi apapun yang kusut, pasti kita akan setrikaan sebelum pergi.
Jilbab kusut?.... Gosok!
Baju kusut ?.... Gosok gosok!
Rok? celana?... Gosokk ajaaa.
Hati kusut?... Gosok hajar!
Wajah kusut? Tidak masalah! Tinggal colokin setrikaan, dan gossssssooook!
Nah, enaknnya di kosan adalah kita bisa sesuka hati menggunakan listrik dan air. Jadi kapanpun mau menggosok baju atau masak nasi ya silahkan-silahkan saja.
Beda sih sebelum jadi anak kos ya. Gue pasti diomelin habis-habisan jika menggosok baju di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah.
"Hoi, makanya ngegosok baju itu di hari Minggu! Jangan setiap hari nyolok setrikaan! Kamu nggak tahu listrik mahal?" teriakan Mama setiap pagi ketika kami berbaris ngantri nyetrika.
Gue dan adik-adik akan langsung kabur ke kamar sebelum sapu melayang dari belakang. Pagi yang horor.
Balik lagi ke kosan.
Namun yang jadi permasalahan di kosan adalah saat semuanya kuliah pagi, di situlah balada terjadi. Teriakan tak terelakan dari beragam kamar pun terdengar. Umpatan dan pintu dihempaskan sudah menjadi rutinitas.
Di pagi hari cerah, biasanya hari Senin tuh. Sekring lstrik akan mulai memasang ancang-ancang mengibarkan bendera putih. Seandainya bisa bicara, mereka akan mengumpat seperti ini.
"Woi bangsat. Gue nggak kuat lagi, jangan paksa aku bertahan demi keegoisan mu yang semu, wahai rakyat jelata!"
Tidak lama kemudia bunyi yang memicu perang itupun terdengar.
Kleek! Listrik padam.
"Aaaaaaaaaaaaaa," nada-nada yang semakin tinggipun terdengar berantakan.
Satu persatu mulai mengamuk, merobek-robek baju, menjambak rambut tetangga, saling melempar piring dan gelas, manjat-manjat dinding dan goyang-goyang.
Percayalah, kalimat di atas hanyalah khayalan gue. Seperti itulah analogi hebohnya pagi itu.
"Woi, gantian dong! Telat nih!" teriak anak lantai dua.
"Gue juga telat ini. Emang lu aja yang kuliah!" teriak anak bawah yang tidak mau kalah.
Tak lama kemudian seorang bidadari pun turun ke bumi (baca: anak kos yang berinisiatif ke luar kosan untuk naikin sekring) dan meredakan kebengisan cewek-cewek yang siap baku hantam.
Kosan pun tenang... Namun hanya sejenak.
Klekk! Listrik padam kembali.
"Woi! Gantian dong! Yang masak nasi matiin dulu napa!" teriak kamar depan yang mulai membanting pintu.
Tak lama kemudian, ibu kosanpun keluar dari kamarnya dan mencoba ikut campur di medan perang pagi Senin itu.
"Anak-anak, jangan teriak-teriak ya. Yang masak nasi mungkin bisa matiin dulu, kasian rekan-rekan kalian yang kuliah pagi,"
Bidadari itupun kembali ke luar kosan dan menyalakan sumber kehidupan di hari Senin. Suasana kembali tenang. 15 menit berjalan dengan sangat indah.
Gue yang otakknya yang belum matang sempurna inipun mulai betingkah. Dengan tanpa ada rasa was-was gue pun nyolokin rise cooker. Yap, listrik masih menyala. Langkah berikutnya, gue pun nyolokin gosokan.
Dan...
Klekk! Listrik padam.
Dengan tampang tanpa dosa gue keluar kamar dan ngedumel sendiri.
"Siapa lagi sih yang ngegosok sambil masak nasi?"
Di sanalah gue tau, melempar batu sembunyi tangan itu menyenangkan juga.
Di kosan kita harus siap sedia dalam ketenangan hati dan pikiran. Ibarat dalam perang, kita harus punya strategi khusus untuk bisa tetap akur, tenang, adem-ayem di dalam kosan.
Salah satunya dalam pemakaian listrik.
Sebagai kaum jomblowati, kita ingin terlihat kece dong ya pergi ke kampus. Jadi apapun yang kusut, pasti kita akan setrikaan sebelum pergi.
Jilbab kusut?.... Gosok!
Baju kusut ?.... Gosok gosok!
Rok? celana?... Gosokk ajaaa.
Hati kusut?... Gosok hajar!
Wajah kusut? Tidak masalah! Tinggal colokin setrikaan, dan gossssssooook!
Nah, enaknnya di kosan adalah kita bisa sesuka hati menggunakan listrik dan air. Jadi kapanpun mau menggosok baju atau masak nasi ya silahkan-silahkan saja.
Beda sih sebelum jadi anak kos ya. Gue pasti diomelin habis-habisan jika menggosok baju di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah.
"Hoi, makanya ngegosok baju itu di hari Minggu! Jangan setiap hari nyolok setrikaan! Kamu nggak tahu listrik mahal?" teriakan Mama setiap pagi ketika kami berbaris ngantri nyetrika.
Gue dan adik-adik akan langsung kabur ke kamar sebelum sapu melayang dari belakang. Pagi yang horor.
Balik lagi ke kosan.
Namun yang jadi permasalahan di kosan adalah saat semuanya kuliah pagi, di situlah balada terjadi. Teriakan tak terelakan dari beragam kamar pun terdengar. Umpatan dan pintu dihempaskan sudah menjadi rutinitas.
Di pagi hari cerah, biasanya hari Senin tuh. Sekring lstrik akan mulai memasang ancang-ancang mengibarkan bendera putih. Seandainya bisa bicara, mereka akan mengumpat seperti ini.
"Woi bangsat. Gue nggak kuat lagi, jangan paksa aku bertahan demi keegoisan mu yang semu, wahai rakyat jelata!"
Tidak lama kemudia bunyi yang memicu perang itupun terdengar.
Kleek! Listrik padam.
"Aaaaaaaaaaaaaa," nada-nada yang semakin tinggipun terdengar berantakan.
Satu persatu mulai mengamuk, merobek-robek baju, menjambak rambut tetangga, saling melempar piring dan gelas, manjat-manjat dinding dan goyang-goyang.
Percayalah, kalimat di atas hanyalah khayalan gue. Seperti itulah analogi hebohnya pagi itu.
"Woi, gantian dong! Telat nih!" teriak anak lantai dua.
"Gue juga telat ini. Emang lu aja yang kuliah!" teriak anak bawah yang tidak mau kalah.
Tak lama kemudian seorang bidadari pun turun ke bumi (baca: anak kos yang berinisiatif ke luar kosan untuk naikin sekring) dan meredakan kebengisan cewek-cewek yang siap baku hantam.
Kosan pun tenang... Namun hanya sejenak.
Klekk! Listrik padam kembali.
"Woi! Gantian dong! Yang masak nasi matiin dulu napa!" teriak kamar depan yang mulai membanting pintu.
Tak lama kemudian, ibu kosanpun keluar dari kamarnya dan mencoba ikut campur di medan perang pagi Senin itu.
"Anak-anak, jangan teriak-teriak ya. Yang masak nasi mungkin bisa matiin dulu, kasian rekan-rekan kalian yang kuliah pagi,"
Bidadari itupun kembali ke luar kosan dan menyalakan sumber kehidupan di hari Senin. Suasana kembali tenang. 15 menit berjalan dengan sangat indah.
Gue yang otakknya yang belum matang sempurna inipun mulai betingkah. Dengan tanpa ada rasa was-was gue pun nyolokin rise cooker. Yap, listrik masih menyala. Langkah berikutnya, gue pun nyolokin gosokan.
Dan...
Klekk! Listrik padam.
Dengan tampang tanpa dosa gue keluar kamar dan ngedumel sendiri.
"Siapa lagi sih yang ngegosok sambil masak nasi?"
Di sanalah gue tau, melempar batu sembunyi tangan itu menyenangkan juga.
Komentar
Posting Komentar