Langsung ke konten utama

DJKJ: Panggilan dari Rumah (3)



Beberapa Jumat di Tahun Baru terasa begitu lama dan sesak. Namun perlahan udara segar pun mulai terasa, mentari terasa hangat dan langkah kakiku mulai ringan.

Bagaimana kabarmu? Bagaimana hari-harimu, ku doakan bahagia. Tenang saja, aku bahagia dengan caraku.

"Hai anak gadisku. Apa kabarmu?" Papaku menanyakan kabar dari seberang sana.

"Sehat. Dimana Pa? tumben tetiba nelfon,"

"Di rumah. Emangnya salah Papa menelfon anak sendiri?"

"Hahaha nggak dong. Tadi Papa nelfon adik nggak?"

"Ini baru selesai telfonan sama dia,"

"Gimana?" tanyaku tidak beralamat. Karena Papa pasti tahu ujung pertanyaanku.

"Dia menikah akhir tahun ini,"

"Yaudah, kasih izin saja Pa,"

"Kamu bagaimana?"

"Aku belum ada pikiran untuk itu. Lagian juga belum ada pasangan," kataku tertawa.

"Jangna pernah berkata kau tidak ada pikiran untuk itu. Waktu masih panjang, ini masih bulan awal,"

"Bagaimana lagi, Pa. Aku takut, sangat takut," tarik nafasku dalam. "Tak ada orang yang mau menyukaiku apalagi menerimaku,"

"Jangan seperti itu! Setiap orang punya pasangan, berdoa saja kepada Tuhan. Minta kepada Tuhan. Papa tidak suka kamu bicara seperti itu,"

"Hahaha... Entahlah Pa. Aku memang belum ingin,"

"Serahkan semua kepada Tuhan. Kalau Tuhan memberi kamu jodoh, besok sore dia akan datang. Jadi jangan merendahkan diri tidak jelas seperti itu," sebuah motivasi pria pertama yang mencintaiku dan satu-satunya.

"Pa.. aku takut. Boleh aku takut sebentar lagi, Pa?"

"Jangan berlama-lama. Tidak ada yang perlu kau takutkan. Semua berjalan di waktunya dan kau masih punya waktu. Berdoalah kepada Tuhan,"

"Aku tidak akan menikah tahun ini Pa. Kasih saja izin untuk adikku,"

"Jangan kau mengatur Tuhan. Tahun ini masih panjang,"

"Aku belum ada pikiran untuk itu, Pa. Jika adik ingin segera, ya silahkan. Sudah puluhan kali kita permasalahan ini kan?"

"Aku tidak ingin anak gadis satu-satunya dilangkauhi! Paham? Sekarang kamu jangan asal bicara. Bagaimana dengan pacarmu yang kemarin datang ke rumah itu?"

"Sudah kandas lama," jawabku terbahak-bahak dan terdengar suara bapakku tertawa bersama ibuku.

"Ya sudahlah. Jalani semua, berdoalah kepada Tuhan. Kamu jangan lupa makan dan salat ya nak. Jaga diri," telefonku berakhir.

--

Kutarik nafas dalam-dalam. Ku ulangi beberapa kali dan baru terasa tenang. Sesak nafasku. Aku menangis.

Setelah sekian lama, aku lega bisa mengatakan aku takut kepada pria pertama yang mencintaiku. Rasanya selega ini. Sangat lapang.

Hatiku terasa ringan. Aku menemukan keputusan selanjutnya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (5)

Puluhan Jumat berlalu begitu saja. Jiwa ku kembali tenang dan tidak ada lagi gejolak yang berarti. Dan kau pemilik mata, yang namanya saja bibirku bergetar menyebutnya, semoga kau berbahagia selalu. Semenjak malam itu aku sadar, bahwa kita berada di dua dimensi yang belum pernah kita pertemukan. Dimensi yang kita paksa untuk tidak bertemu, karena kondisi yang ada. Tapi tidak masalah, aku menikmati setiap getaran yang kau berikan. Terkadang aku menyesali pertemuan mata kita kala itu. Toh, akhirnya kita juga memisahkan mata ini dan pura-pura tidak tahu kan? Aku ralat, bukan 'kita', tapi hanya aku seorang. Sedih juga ya bila diceritakan detail seperti ini? Tapi tidak masalah, kok. Berlalu sudahlah berlalu. Aku menikmati duniaku yang penuh misteri ini. Bagaimana dengan kamu? -- Selamat Tahun Baru! Minggu ini festival yang mempertemukan kita dahulu diadakan kembali. Dan telah aku garis bawahi bahwa kita hanyalah dua manusia yang terlibat urusan kerja. Dalam kesempatan itu kita b...

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (2)

Mata itu. Dua mata dengan sorotan tak biasa yang menembus jiwa tenangku. Berhari-hari jiwa ini tidak karuan. Hanya gara-gara dua bola mata tajam milik kamu. Segala cara sudah aku lakukan supaya tidak lagi memikirkan kamu. Namun, tidak semudah yang aku bayangkan. Mungkin kamu tidak tahu, aku hanyalah lelaki biasa yang disibukan dengan dunia darat dan gunung. Kau sebutkan saja nama-nama gunung besar di negeri kita, sudah ku naiki semua itu. Apa yang ingin kau tahu? Macam-macam peralatan yang dibutuhkan naik gunung? Cara survival? Brand-brand outdoor? Alat yang bagus dan cuaca ekstrem? Semuanya aku tahu. Kau ingin menanyakan jalan daerah mana? Pelosok negeri mana? Biar nanti ku antarkan kamu ke sana. Semuanya aku tahu. Yang tidak aku tahu adalah bagaimana cara menghadapi bola mata kamu yang tanpa seizinku bertemu dengan mataku. Yang menembus jiwaku. Dan itu tanpa aba-aba! Beberapa Jumat aku biarkan diriku terjebak rasa ini. Aku ingin memastikan bahwa ini hanyalah sementara. Nanti juga a...

Dari Jumat ke Jumat: Patah (4)

Apapun yang kamu lakukan, aku semakin jatuh cinta. Kamu tahu, dulu aku benci makanan manis, apalagi es krim. Namun karena kamu suka itu, aku pun mencoba menyukainya. Kamu punya kebiasaan jelek. Kamu suka bicara saat sedang mengunyah. Bibirmu dan pipimu sering bertaburan makanan dan es krim. Namun, kenapa kau cantik saat seperti itu? Jemariku akan menuju bibirmu yang lembut. "Makannya yang pelan sayangku," Kamu hanya mengangguk dan mengulang lagi kesalahan yang sama. Betapa menggemaskannya. Pada suatu hari kamu datang marah-marah kepadaku. Di saat itu juga pekerjaanku menumpuk. Kamu melampiaskan marahmu yang tidak terarah kepadaku. Aku meneriaki kamu dengan kata yang tidak sepantasnya. Kamu diam. Kamu menangis. Aku tersentak. Aku memelukmu, mengecup keningmu. Maafkan aku. Jumat terus berlalu dan berganti. Kamu semakin cantik, kamu semakin rewel, dan kamu semakin berambisi. Aku tetap suka. "Dia sudah berubah? Masih asal-asalan bicara?" Ibuku selalu menanyakan bagaim...