Beberapa Jumat di Tahun Baru terasa begitu lama dan sesak. Namun perlahan udara segar pun mulai terasa, mentari terasa hangat dan langkah kakiku mulai ringan.
Bagaimana kabarmu? Bagaimana hari-harimu, ku doakan bahagia. Tenang saja, aku bahagia dengan caraku.
"Hai anak gadisku. Apa kabarmu?" Papaku menanyakan kabar dari seberang sana.
"Sehat. Dimana Pa? tumben tetiba nelfon,"
"Di rumah. Emangnya salah Papa menelfon anak sendiri?"
"Hahaha nggak dong. Tadi Papa nelfon adik nggak?"
"Ini baru selesai telfonan sama dia,"
"Gimana?" tanyaku tidak beralamat. Karena Papa pasti tahu ujung pertanyaanku.
"Dia menikah akhir tahun ini,"
"Yaudah, kasih izin saja Pa,"
"Kamu bagaimana?"
"Aku belum ada pikiran untuk itu. Lagian juga belum ada pasangan," kataku tertawa.
"Jangna pernah berkata kau tidak ada pikiran untuk itu. Waktu masih panjang, ini masih bulan awal,"
"Bagaimana lagi, Pa. Aku takut, sangat takut," tarik nafasku dalam. "Tak ada orang yang mau menyukaiku apalagi menerimaku,"
"Jangan seperti itu! Setiap orang punya pasangan, berdoa saja kepada Tuhan. Minta kepada Tuhan. Papa tidak suka kamu bicara seperti itu,"
"Hahaha... Entahlah Pa. Aku memang belum ingin,"
"Serahkan semua kepada Tuhan. Kalau Tuhan memberi kamu jodoh, besok sore dia akan datang. Jadi jangan merendahkan diri tidak jelas seperti itu," sebuah motivasi pria pertama yang mencintaiku dan satu-satunya.
"Pa.. aku takut. Boleh aku takut sebentar lagi, Pa?"
"Jangan berlama-lama. Tidak ada yang perlu kau takutkan. Semua berjalan di waktunya dan kau masih punya waktu. Berdoalah kepada Tuhan,"
"Aku tidak akan menikah tahun ini Pa. Kasih saja izin untuk adikku,"
"Jangan kau mengatur Tuhan. Tahun ini masih panjang,"
"Aku belum ada pikiran untuk itu, Pa. Jika adik ingin segera, ya silahkan. Sudah puluhan kali kita permasalahan ini kan?"
"Aku tidak ingin anak gadis satu-satunya dilangkauhi! Paham? Sekarang kamu jangan asal bicara. Bagaimana dengan pacarmu yang kemarin datang ke rumah itu?"
"Sudah kandas lama," jawabku terbahak-bahak dan terdengar suara bapakku tertawa bersama ibuku.
"Ya sudahlah. Jalani semua, berdoalah kepada Tuhan. Kamu jangan lupa makan dan salat ya nak. Jaga diri," telefonku berakhir.
--
Kutarik nafas dalam-dalam. Ku ulangi beberapa kali dan baru terasa tenang. Sesak nafasku. Aku menangis.
Setelah sekian lama, aku lega bisa mengatakan aku takut kepada pria pertama yang mencintaiku. Rasanya selega ini. Sangat lapang.
Hatiku terasa ringan. Aku menemukan keputusan selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar