Tak mudah ternyata lepas dari kisah yang lalu. Begitu melangkah, bayangan itu masih mengiringi. Kapan lepas? Kembali lagi ke waktu.
Malam ini begitu hangat. Langit begitu terang dengan lampu bangunan berkelap-kelip tidak karuan. Sunyi namun menenangkan.
Memang, atap adalah tempat terbaik menikmati malam. Kutarik nafas dalam-dalam dan perlahan melepaskan. Sudah saatnya bukan?
Wahai...
Teruntuk pria yang pernah datang, mengisi dan mewarnai ratusan Jumat, ku ucapkan terimakasih. Mari kita berbahagia, mari kita pilih jalan yang kita putuskan. Jalan yang kita sepakati dan jalani semua ini dengan indah.
Terimakasih telah datang di tepat waktu. Terimakasih membawa tangis dan duka yang bisa kita tertawakan nanti. Terimakasih telah membawa begitu banyak kisah yang bisa kita ulang di suatu masa nanti.
Terimakasih untuk jutaan detik setiap malam itu. Terimakasih untuk segala tatapan itu. Terimakasih untuk segala genggaman yang mungkin akan meninggalkan bekas di jemariku. Terimakasih untuk segala pertengkaran di Jumat malam. Terimakasih untuk pesan pengantar tidur dan semangat pagi itu. Terimakasih untuk semua.
Kamu bahagia, aku juga bahagia. Ingat, kita adalah manusia yang wajib memilih bahagia dengan cara masing-masing bukan?
Selamat untukmu, berbahagialah untukku. Itu saja.
Teruntuk diriku yang telah lelah menangis. Terimakasih telah menjadi kuat dan tertatih melewati ini semua. Terimakasih telah berani mencintai dan menerima.
Terimakasih telah berdiri kokoh dihadapan semua orang dan beristirahat saat semua pergi. Terimakasih telah membawa jantung ini berjalan dan berlari seperti orang-orang.
Sekarang saatnya kita istirahat, bukan? Aku akan memanjakanmu wahai diriku yang telah mencoba kuat. Saatnya kita berdamai dan istirahat.
Wahai lelaki dengan senyuman yang membayangiku. Apa kabar? Semua begitu indah saat mengingatmu. Semua begitu tenang saat aku tahu kamu diciptakan Tuhan ke dunia ini. Semua begitu tenang saat Tuhan mempertemukan matamu dengan mataku.
Ada kisah lucu yang ingin ku ceritakan kepadamu. Dua tahun lalu, di awal pertemuan kita, di awal aku menyimpan nomormu, aku pernah berceletuk seperti ini.
"Jika terjadi apa-apa nanti padaku, aku akan lari menujumu," itulah kalimat pertama yang aku ucapkan saat melihat fotomu di kontakku tiba-tiba.
Siapa sangka celetukan asal yang tiada berarah itu berunjung aku menatap senyumanmu lebih lama di saat aku butuh? Namun siapa sangka juga itu pertama dan terakhir, bukan? Betapa lucunya semesta.
Terimakasih telah membiarkan aku menatap senyumanmu lebih lama. Terimakasih untuk matamu yang sendu mengiringi senyuman indah itu. Terimakasih telah senyum di waktu itu. Terimakasih untuk suaramu yang akan menjadi irama terindah di kepalaku.
Berbahagialah semua wahai ....
Ku tarik nafasku dalam-dalam lagi. Sesak juga ternyata. Hahaha!
Malam itu hari Jumat, kututup buku catatanku yang bersampul hijau itu. Langit begitu indah menghibur air mataku yang tidak terbendung.
Tak mudah berdamai dengan diriku.
Komentar
Posting Komentar