Kenapa begitu mudah bagi orang-orang untuk berkata semuanya baik-baik saja? Kenapa aku begitu rapuh menghadapi kenyataan tidak seindah impian di diari yang aku tulis di malam itu?
Tahun Baru pun datang. Secercah harapan pun kutuliskan dalam catatan impianku. Aku siap!
Apakah hariku tenang? Tentu saja tidak, mana ada kesempatan untuk itu?
"Jangan lama-lama. Aku sudah siap. Percepatlah!"
Kalimat dari saudaraku tentu masih menghujaniku. Tapi persetan dengan itu. Aku tertawa dan bisa lagi tertawa.
"Woi, gimana? Enak malam pertamamu?" teriakku dalam panggilan video pada sabahat lamaku.
"Yakin kau mau dengar sensasi malamku?" goda kawanku di seberang sana.
"Tidak!" Kamipun tertawa.
"Aku senang kau sudah mulai tertawa lagi," tetiba sahabatku mengucapkan kalimat yan menhgejutkan itu.
"Eh gimana?"
"Ya, kau sudah mulai tertawa. Aku senang. Karena lelaki tersenyum yang kau ceritakan itu?"
"Mmmm ...entahlah. Aku tidak sadar kalau aku ada yang berubah dihidupku akhir-akhir ini,"
"Kamu tahu, saat pertama kau bercerita tentang lelaki itu mukamu berseri kemerahan. Aku sengaja membiarkan karena aku tahu, inilah waktumu. Kau senyum-senyum seperti dulu kau jatuh cinta pada kekasih lamamu. Namun senyum kali ini berbeda, kau lebih berbunga,"
"Oh ya?"
"Bagaimana?"
"Apanya?"
"Lelaki dengan senyuman itu,"
"Entahlah. Mungkin tidak," ungkapku sambil tertawa.
"Jangan mulai lagi. Sampai kapan?"
"Ya bagaimana lagi, tidak ada pintu yang bisa kumasuki. Langkah kakiku juga terhenti dan kehilangan arah. Aku harus apa?"
"Kau yakin?"
"Sangat,"
"Kau akan berhenti?"
"Ya, mungkin,"
"Jangan ragu!"
"Entahlah. Dua tahun yang lalu aku pernah bergumam aneh sih jika dia orang yang akan kutuju nanti. Tapi entahlah," aku tertawa lagi.
"Kapan kau akan berubah? Tidak lelah?"
"Lelah itu pasti. Tapi kau tahukan apa yang ku mau?"
"Ya, kau ingin melepas gundahmu dengan bepergian ke seberang. Tapi bukan berarti kau menghilangkan kesempatan ini bukan?"
"Aku ingin, dia tidak. Gimana dong?" kembali lagi kita tertawa.
"Dasar. Yasudah, kau lakukanlah yang dimau. Aku akan mendukungmu,"
"Makasih woi,"
"Suamiku sudah pulang. Kau ingin melihat aksiku?"
"Bangsat! Sudah sana matikan," kami menutup cerita malam itu dengan tertawa dan senyuman merekah dibibirku.
Malam itu adalah malam jumat. Pantas saja temanku buru-buru mematikan panggilanku.
Komentar
Posting Komentar