Apapun yang kamu lakukan, aku semakin jatuh cinta.
Kamu tahu, dulu aku benci makanan manis, apalagi es krim. Namun karena kamu suka itu, aku pun mencoba menyukainya.
Kamu punya kebiasaan jelek. Kamu suka bicara saat sedang mengunyah. Bibirmu dan pipimu sering bertaburan makanan dan es krim. Namun, kenapa kau cantik saat seperti itu?
Jemariku akan menuju bibirmu yang lembut.
"Makannya yang pelan sayangku,"
Kamu hanya mengangguk dan mengulang lagi kesalahan yang sama. Betapa menggemaskannya.
Pada suatu hari kamu datang marah-marah kepadaku. Di saat itu juga pekerjaanku menumpuk. Kamu melampiaskan marahmu yang tidak terarah kepadaku. Aku meneriaki kamu dengan kata yang tidak sepantasnya.
Kamu diam. Kamu menangis. Aku tersentak. Aku memelukmu, mengecup keningmu. Maafkan aku.
Jumat terus berlalu dan berganti. Kamu semakin cantik, kamu semakin rewel, dan kamu semakin berambisi. Aku tetap suka.
"Dia sudah berubah? Masih asal-asalan bicara?"
Ibuku selalu menanyakan bagaimana hubunganku denganmu. Aku dengan bangga menceritakan apa yang kamu lakukan. Kenakalanmu, kecantikanmu, kebaikanmu, dan kegilaanmu bersamaku.
"Sampai kapan? Kamu yakin dia bisa mengurusmu dengan pekerjaannya yang seperti itu?"
Malam itu aku berdiam diri. Kamu menyebutkan kalimat yang kubenci dengan santai. Aku benci kata itu, kamu tahu kan?
"Dia sudah berubah? Masih asal-asalan bicara?"
Kembali, kembali, berulang kali ibuku menanyakan itu. Aku muak!
Di malam itu, di malam kamu menangis setelah memegang ponselku. Aku diam. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Karena aku goyah.
Benar sayangku.
Kamu tahu, dulu aku benci makanan manis, apalagi es krim. Namun karena kamu suka itu, aku pun mencoba menyukainya.
Kamu punya kebiasaan jelek. Kamu suka bicara saat sedang mengunyah. Bibirmu dan pipimu sering bertaburan makanan dan es krim. Namun, kenapa kau cantik saat seperti itu?
Jemariku akan menuju bibirmu yang lembut.
"Makannya yang pelan sayangku,"
Kamu hanya mengangguk dan mengulang lagi kesalahan yang sama. Betapa menggemaskannya.
Pada suatu hari kamu datang marah-marah kepadaku. Di saat itu juga pekerjaanku menumpuk. Kamu melampiaskan marahmu yang tidak terarah kepadaku. Aku meneriaki kamu dengan kata yang tidak sepantasnya.
Kamu diam. Kamu menangis. Aku tersentak. Aku memelukmu, mengecup keningmu. Maafkan aku.
Jumat terus berlalu dan berganti. Kamu semakin cantik, kamu semakin rewel, dan kamu semakin berambisi. Aku tetap suka.
"Dia sudah berubah? Masih asal-asalan bicara?"
Ibuku selalu menanyakan bagaimana hubunganku denganmu. Aku dengan bangga menceritakan apa yang kamu lakukan. Kenakalanmu, kecantikanmu, kebaikanmu, dan kegilaanmu bersamaku.
"Sampai kapan? Kamu yakin dia bisa mengurusmu dengan pekerjaannya yang seperti itu?"
Malam itu aku berdiam diri. Kamu menyebutkan kalimat yang kubenci dengan santai. Aku benci kata itu, kamu tahu kan?
"Dia sudah berubah? Masih asal-asalan bicara?"
Kembali, kembali, berulang kali ibuku menanyakan itu. Aku muak!
Di malam itu, di malam kamu menangis setelah memegang ponselku. Aku diam. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Karena aku goyah.
Benar sayangku.
Tidak ada maksud apa-apa dari pesanku bersama ibuku. Kamu terlalu memikir jauh. Sumpah, aku tidak ingin kamu tahu. Tapi kau tanpa izinku memegang ponselku.
Jangan kau pikirkan wanita yang disebutkan ibuku, sayang.
Jangan kau pikirkan wanita yang disebutkan ibuku, sayang.
Itu hanyalah bercandaan sesaat saat aku gundah gulana. Namun kamu tidak berhenti menangis dan tanganku juga tidak mampu menenangkanmu.
Tolong, berhenti menangis. Kamu membunuhku secara perlahan, sayang.
Di Jumat malam, kamu pergi. Dan aku tidak melakukan apa-apa.
Aku hanya terduduk. Hatiku sakit, tanganku bergetar, pandanganku kelabu.
Wahai wanitaku, kau benar-benar pergi?
Komentar
Posting Komentar