Ada celah! Sepertinya ada celah yang bisa disusuki harapan. Itulah yang aku bayangkan setiap pesan kamu masuk ke ponselku.
Hari-hari berlalu. Aku tahu dan kamupun tahu, kita sedang berusaha mencoba saling merindu kembali. Sulit, memang sulit.
Rutinitas pagiku kembali. Bangun kukirim pesan cintaku, siang pun kau mengingatkan makan siangku, dan malam kita saling menatap di layar ponsel sampai salah satunya mengeluh kantuk. Betapa manisnya keseharianku, bukan?
Namun, tatkala malam datang, bergilir datang setiap harinya. Ada bagian hati yang terus terasa hampa? Apa lagi ini? Bukannya aku puas dengan kondisi yang sekarang?
Sial! Tak kunjung reda hampa yang bergelut dengan rinduku kepada kamu. Apa karena aku ingin bebas, seperti yang aku bilang kepadamu tahun lalu?
Bulan 10 tahun lalu. Aku ingat jika aku ingin bebas. Lelah dengan rutinitas dan ingin melakukan apa yang aku mau. Dipikir lagi, betapa kejamnya aku membuat keinginan tanpa memikirkan keberadaanmu.
Ya, itu salahku. Hanya memikirkan apa yang aku mau dan menyampingkan keberadaanmu. Namun balik lagi, seberapa prioritas diri kita masing-masing?
Aku dengan dunia yang tidak bisa kau masuki, bahkan untuk ketahui saja enggan. Begitu juga aku dengan duniamu, yang telah kuketahui bahkan menjadi rumah kedua bagiku.
Timbul lagi pertanyaan, sampai kapan? Itu yang ingin kutemukan.
Dengan sangat yakin ku teriakan kepada orang terdekat, bahwa aku akan mengumpulkan dana dan pergi berjalan ke seberang mencari apa yang sebenarnya aku mau.
Dan orang pertama yang mendengarkan itu adalah kamu. Namun, jawaban yang tidak kuinginkan datang darimu. Kalimat yang sangat aku benci, keluar dari mulut orang yang aku sayangi. Sakit dan jatuh? Tentu.
Tapi yasudahlah, yang berlalu biarlah berlalu. Mungkin ini cara Tuhan menghukum mulutku yang tidak terkontrol ini.
Kita sama-sama melangkahkan kaki di jalan yang berbeda. Aku ingin ke utara, namun kau enggan mengajak aku ke selatan. Kau pasang pagar berduri, agar aku bisa lewati dengan terluka.
Begitu juga dengan aku yang memasang beton tinggi, tidak memberi celah untuk kenangan kita masuk ke jalanku lagi. Kita sangat memaksa untuk menyakiti, bukan? Memaksa menunukan siapa yang paling kuat? Hahaha.
Kita mencoba melewati bebatuan di jalanan, tapi hanya aku yang mencoba menyingkirkan batu jalanan. Sedangkan kau berdiri di belakangku, menatap diam dan menatap ke arah yang lain. Ke arah jalan yang kita sepakati untuk kita abaikan.
Kenapa hanya aku? Itulah yang selalu ku tanyakan kepadamu. Siapa kamu? Aku tak kenal lagi dirimu, kekasihku.
Hari-hari berlalu. Aku tahu dan kamupun tahu, kita sedang berusaha mencoba saling merindu kembali. Sulit, memang sulit.
Rutinitas pagiku kembali. Bangun kukirim pesan cintaku, siang pun kau mengingatkan makan siangku, dan malam kita saling menatap di layar ponsel sampai salah satunya mengeluh kantuk. Betapa manisnya keseharianku, bukan?
Namun, tatkala malam datang, bergilir datang setiap harinya. Ada bagian hati yang terus terasa hampa? Apa lagi ini? Bukannya aku puas dengan kondisi yang sekarang?
Sial! Tak kunjung reda hampa yang bergelut dengan rinduku kepada kamu. Apa karena aku ingin bebas, seperti yang aku bilang kepadamu tahun lalu?
Bulan 10 tahun lalu. Aku ingat jika aku ingin bebas. Lelah dengan rutinitas dan ingin melakukan apa yang aku mau. Dipikir lagi, betapa kejamnya aku membuat keinginan tanpa memikirkan keberadaanmu.
Ya, itu salahku. Hanya memikirkan apa yang aku mau dan menyampingkan keberadaanmu. Namun balik lagi, seberapa prioritas diri kita masing-masing?
Aku dengan dunia yang tidak bisa kau masuki, bahkan untuk ketahui saja enggan. Begitu juga aku dengan duniamu, yang telah kuketahui bahkan menjadi rumah kedua bagiku.
Timbul lagi pertanyaan, sampai kapan? Itu yang ingin kutemukan.
Dengan sangat yakin ku teriakan kepada orang terdekat, bahwa aku akan mengumpulkan dana dan pergi berjalan ke seberang mencari apa yang sebenarnya aku mau.
Dan orang pertama yang mendengarkan itu adalah kamu. Namun, jawaban yang tidak kuinginkan datang darimu. Kalimat yang sangat aku benci, keluar dari mulut orang yang aku sayangi. Sakit dan jatuh? Tentu.
Tapi yasudahlah, yang berlalu biarlah berlalu. Mungkin ini cara Tuhan menghukum mulutku yang tidak terkontrol ini.
Kita sama-sama melangkahkan kaki di jalan yang berbeda. Aku ingin ke utara, namun kau enggan mengajak aku ke selatan. Kau pasang pagar berduri, agar aku bisa lewati dengan terluka.
Begitu juga dengan aku yang memasang beton tinggi, tidak memberi celah untuk kenangan kita masuk ke jalanku lagi. Kita sangat memaksa untuk menyakiti, bukan? Memaksa menunukan siapa yang paling kuat? Hahaha.
Kita mencoba melewati bebatuan di jalanan, tapi hanya aku yang mencoba menyingkirkan batu jalanan. Sedangkan kau berdiri di belakangku, menatap diam dan menatap ke arah yang lain. Ke arah jalan yang kita sepakati untuk kita abaikan.
Kenapa hanya aku? Itulah yang selalu ku tanyakan kepadamu. Siapa kamu? Aku tak kenal lagi dirimu, kekasihku.
Ending ini apa bukan?
BalasHapus