Malam Kamis menuju Jumat. Kamu akan berulang tahun, aku sudah merangkai pesan ucapan untukmu.
Ku kirim pesan doa ulang tahunmu, kau balas sekedarnya. Iya aku paham aku marah, aku sangat mengerti bahwa aku bukanlah laki-laki yang kau tunggu lagi. Aku bukanlah laki-laki yang mengusap kepalamu saat kau cemberut.
Ku coba lagi ingat momen ulang tahun mu di tahun awal kau menjadi wanitaku. Kita bertengkar hebat di hari itu. Aku sudah menyiapkan hadiah spesial yang pasti kamu akan suka.
Malam itu, aku di depan kosan kamu. Tidak sabar melihat wajah bundarmu yang kemerahan saat malu. Tidak sabar melihat bibir tebal dan hidung mancung itu tiba dihadapanku. Aku sangat rindu.
Masih marah wajahmu saat itu, namun aku tidak bisa marah balik kepadamu. Mana mungkin aku memarahi wanita cantik yang memberi warna baru di hidupku?
"Ini untukmu. Selamat ulang tahun sayang," ku serahkan kepadamu kado yang pasti kamu suka.
Aku tahu, kamu saat itu sangat senang, namun kamu malu karena masih marah kepadaku. Ku usap kepalamu, ku tatap lagi mata bundar yang membuat aku selalu rindu itu.
Ahh.. betapa rindunya aku raut wajahmu dulu. Tapi kini berbeda, tahun ini sungguh berbeda.
Kamu melangkah jauh dan aku hanya berdiri di sini. Aku tidak memanggilmu. Aku tidak menahanmu. Aku juga tidak meyakinkan kamu.
__
Di Jumat pagi, tetiba kau menghubungiku. Kau sebutkan ingin membuka hati dan menikmati hidup. Kau yang datang meminta maaf dan pamit kepadaku. Aku sungguh malu!
Berdesir darahku. Yang dulu bercanda kita berandai-andai jika berpisah, kini menjadi nyata. Dulu kita tertawa membayangkannya, namun sekarang bibirku kelu. Sakit, sungguh sakit!
Kita bertatapan di ponsel satu sama lain. Matamu bengkak, hancur hatiku. Suaramu serak dan air matamu mengalir lagi, lagi dan lagi. Begitu jahatnya aku hingga aku terluka sedalam itu?
Aku ingin bertemu. Aku ingin kita bicarakan ini lagi dan mari berbaik-baik. Tapi tidak ada keberanian ku untuk bertemu denganmu, tidak bernyali aku sayang. Tidak bernyali!
Baiklah. Memang tidak ada celah lagi sepertinya. Kau terluka, aku juga. Kau merana karena rindu, aku entah terlebih merana wahai wanita bermuka bundarku.
Jika ini jalan kita, baiklah. Aku juga dalam keadaan lelah dan gundah.
Patah sudah mimpi-mimpi kita
Patah sudah rencana kita
Patah sudah harapan yang ingin kita wujudkan.
Ku kirim pesan doa ulang tahunmu, kau balas sekedarnya. Iya aku paham aku marah, aku sangat mengerti bahwa aku bukanlah laki-laki yang kau tunggu lagi. Aku bukanlah laki-laki yang mengusap kepalamu saat kau cemberut.
Ku coba lagi ingat momen ulang tahun mu di tahun awal kau menjadi wanitaku. Kita bertengkar hebat di hari itu. Aku sudah menyiapkan hadiah spesial yang pasti kamu akan suka.
Malam itu, aku di depan kosan kamu. Tidak sabar melihat wajah bundarmu yang kemerahan saat malu. Tidak sabar melihat bibir tebal dan hidung mancung itu tiba dihadapanku. Aku sangat rindu.
Masih marah wajahmu saat itu, namun aku tidak bisa marah balik kepadamu. Mana mungkin aku memarahi wanita cantik yang memberi warna baru di hidupku?
"Ini untukmu. Selamat ulang tahun sayang," ku serahkan kepadamu kado yang pasti kamu suka.
Aku tahu, kamu saat itu sangat senang, namun kamu malu karena masih marah kepadaku. Ku usap kepalamu, ku tatap lagi mata bundar yang membuat aku selalu rindu itu.
Ahh.. betapa rindunya aku raut wajahmu dulu. Tapi kini berbeda, tahun ini sungguh berbeda.
Kamu melangkah jauh dan aku hanya berdiri di sini. Aku tidak memanggilmu. Aku tidak menahanmu. Aku juga tidak meyakinkan kamu.
__
Di Jumat pagi, tetiba kau menghubungiku. Kau sebutkan ingin membuka hati dan menikmati hidup. Kau yang datang meminta maaf dan pamit kepadaku. Aku sungguh malu!
Berdesir darahku. Yang dulu bercanda kita berandai-andai jika berpisah, kini menjadi nyata. Dulu kita tertawa membayangkannya, namun sekarang bibirku kelu. Sakit, sungguh sakit!
Kita bertatapan di ponsel satu sama lain. Matamu bengkak, hancur hatiku. Suaramu serak dan air matamu mengalir lagi, lagi dan lagi. Begitu jahatnya aku hingga aku terluka sedalam itu?
Aku ingin bertemu. Aku ingin kita bicarakan ini lagi dan mari berbaik-baik. Tapi tidak ada keberanian ku untuk bertemu denganmu, tidak bernyali aku sayang. Tidak bernyali!
Baiklah. Memang tidak ada celah lagi sepertinya. Kau terluka, aku juga. Kau merana karena rindu, aku entah terlebih merana wahai wanita bermuka bundarku.
Jika ini jalan kita, baiklah. Aku juga dalam keadaan lelah dan gundah.
Patah sudah mimpi-mimpi kita
Patah sudah rencana kita
Patah sudah harapan yang ingin kita wujudkan.
Hidup ini pilihan. Dan kita memilih jalan itu, jalan yang kita hindari. Jalan yang kita benci.
Jumat pagi itu, kamu pergi dan aku hanya diam.
Komentar
Posting Komentar