Langsung ke konten utama

Dari Jumat ke Jumat (8)


Semakin sakit.
Semakin sakit.
Semakin sakit.
Ada apa?
Kenapa?
Kenapa sekarang?
Aku takut. Aku sangat ketakutan, sayang. Sangat takut!

Seringkali ku ceritakan kepadamu, hal yang paling kutakuti dalam hidup. Kau tahu jelas apa yang ada di otakku dan hatiku. Namun, aku takut dan kau juga takut.

Tidak masalah kau merasa takut. Namun sangat bermasalah saat kau enggan ingin tahu. Lantas kita harus apa?

Sudah di Jumat kedua di tahun ini. Kita semakin goyah, kita semakin acuh, dan kita lelah. Lelah dengan bualan klasik pereda luka, lelah dengan rutinitas, lelah dengan kerjaan, lelah dengan lingkaran dan kita berputar di dalamnya.

Saat kita ingin berhenti berlari, kita tidak menemukan lagi tempat berhenti. Ada pagar duri di peristirahatan kita. Sampai kapan? Sampai kapan?

Berlari-lari semua kenangan di otakku, sayang. Dekapan tanganmu yang hangat, bibir lembutmu di pipiku, jari jemarimu yang nakal di hidungku, semuanya. Tapi apa daya kita?

Siang ini aku ada di puncak gedung. Menghangatkan kepala yang tidak ingin lagi mengenang rasa rindu. Aku ingin Matahari terik siang ini, namun awan malah menutupi. Hujan siang itu.

Terisak-isak jiwaku bersama hujan yang berair debu. Sakit jantungku, sayang. Sangat sakit. Kenapa bisa sesakit ini, padahal kau tidak melakukan apa-apa? Siang itu, aku menangis sejadi-jadinya.

Kenapa aku terjebak dalam ucapanku? Bukankah kita sepakat untuk melangkah di jalan masing-masing? Kenapa aku goyah? Apa selama ini karena ada kamu, dan sekarang hilang? Kamu kebiasaan termanisku.

Senyuman yang selalu ku lihat setiap hari, suara hangat dari kamu, tingkah konyol untuk mencerahkan pagiku. Mimpi-mimpi kita, semua yang akan kita lakukan di awal Tahun Baru, semuanya gugur.

Baru dua minggu di 2020, tapi aku serasa sudah dicabik berbulan-bulan. Hujan, jangan berhenti. Temani dulu aku siang ini. Aku mohon.

Lepas, kulepas tangisku di siang Jumat itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (5)

Puluhan Jumat berlalu begitu saja. Jiwa ku kembali tenang dan tidak ada lagi gejolak yang berarti. Dan kau pemilik mata, yang namanya saja bibirku bergetar menyebutnya, semoga kau berbahagia selalu. Semenjak malam itu aku sadar, bahwa kita berada di dua dimensi yang belum pernah kita pertemukan. Dimensi yang kita paksa untuk tidak bertemu, karena kondisi yang ada. Tapi tidak masalah, aku menikmati setiap getaran yang kau berikan. Terkadang aku menyesali pertemuan mata kita kala itu. Toh, akhirnya kita juga memisahkan mata ini dan pura-pura tidak tahu kan? Aku ralat, bukan 'kita', tapi hanya aku seorang. Sedih juga ya bila diceritakan detail seperti ini? Tapi tidak masalah, kok. Berlalu sudahlah berlalu. Aku menikmati duniaku yang penuh misteri ini. Bagaimana dengan kamu? -- Selamat Tahun Baru! Minggu ini festival yang mempertemukan kita dahulu diadakan kembali. Dan telah aku garis bawahi bahwa kita hanyalah dua manusia yang terlibat urusan kerja. Dalam kesempatan itu kita b...

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (2)

Mata itu. Dua mata dengan sorotan tak biasa yang menembus jiwa tenangku. Berhari-hari jiwa ini tidak karuan. Hanya gara-gara dua bola mata tajam milik kamu. Segala cara sudah aku lakukan supaya tidak lagi memikirkan kamu. Namun, tidak semudah yang aku bayangkan. Mungkin kamu tidak tahu, aku hanyalah lelaki biasa yang disibukan dengan dunia darat dan gunung. Kau sebutkan saja nama-nama gunung besar di negeri kita, sudah ku naiki semua itu. Apa yang ingin kau tahu? Macam-macam peralatan yang dibutuhkan naik gunung? Cara survival? Brand-brand outdoor? Alat yang bagus dan cuaca ekstrem? Semuanya aku tahu. Kau ingin menanyakan jalan daerah mana? Pelosok negeri mana? Biar nanti ku antarkan kamu ke sana. Semuanya aku tahu. Yang tidak aku tahu adalah bagaimana cara menghadapi bola mata kamu yang tanpa seizinku bertemu dengan mataku. Yang menembus jiwaku. Dan itu tanpa aba-aba! Beberapa Jumat aku biarkan diriku terjebak rasa ini. Aku ingin memastikan bahwa ini hanyalah sementara. Nanti juga a...

Dari Jumat ke Jumat: Patah (4)

Apapun yang kamu lakukan, aku semakin jatuh cinta. Kamu tahu, dulu aku benci makanan manis, apalagi es krim. Namun karena kamu suka itu, aku pun mencoba menyukainya. Kamu punya kebiasaan jelek. Kamu suka bicara saat sedang mengunyah. Bibirmu dan pipimu sering bertaburan makanan dan es krim. Namun, kenapa kau cantik saat seperti itu? Jemariku akan menuju bibirmu yang lembut. "Makannya yang pelan sayangku," Kamu hanya mengangguk dan mengulang lagi kesalahan yang sama. Betapa menggemaskannya. Pada suatu hari kamu datang marah-marah kepadaku. Di saat itu juga pekerjaanku menumpuk. Kamu melampiaskan marahmu yang tidak terarah kepadaku. Aku meneriaki kamu dengan kata yang tidak sepantasnya. Kamu diam. Kamu menangis. Aku tersentak. Aku memelukmu, mengecup keningmu. Maafkan aku. Jumat terus berlalu dan berganti. Kamu semakin cantik, kamu semakin rewel, dan kamu semakin berambisi. Aku tetap suka. "Dia sudah berubah? Masih asal-asalan bicara?" Ibuku selalu menanyakan bagaim...