Semakin sakit.
Semakin sakit.
Semakin sakit.
Ada apa?
Kenapa?
Kenapa sekarang?
Aku takut. Aku sangat ketakutan, sayang. Sangat takut!
Seringkali ku ceritakan kepadamu, hal yang paling kutakuti dalam hidup. Kau tahu jelas apa yang ada di otakku dan hatiku. Namun, aku takut dan kau juga takut.
Tidak masalah kau merasa takut. Namun sangat bermasalah saat kau enggan ingin tahu. Lantas kita harus apa?
Sudah di Jumat kedua di tahun ini. Kita semakin goyah, kita semakin acuh, dan kita lelah. Lelah dengan bualan klasik pereda luka, lelah dengan rutinitas, lelah dengan kerjaan, lelah dengan lingkaran dan kita berputar di dalamnya.
Saat kita ingin berhenti berlari, kita tidak menemukan lagi tempat berhenti. Ada pagar duri di peristirahatan kita. Sampai kapan? Sampai kapan?
Berlari-lari semua kenangan di otakku, sayang. Dekapan tanganmu yang hangat, bibir lembutmu di pipiku, jari jemarimu yang nakal di hidungku, semuanya. Tapi apa daya kita?
Siang ini aku ada di puncak gedung. Menghangatkan kepala yang tidak ingin lagi mengenang rasa rindu. Aku ingin Matahari terik siang ini, namun awan malah menutupi. Hujan siang itu.
Terisak-isak jiwaku bersama hujan yang berair debu. Sakit jantungku, sayang. Sangat sakit. Kenapa bisa sesakit ini, padahal kau tidak melakukan apa-apa? Siang itu, aku menangis sejadi-jadinya.
Kenapa aku terjebak dalam ucapanku? Bukankah kita sepakat untuk melangkah di jalan masing-masing? Kenapa aku goyah? Apa selama ini karena ada kamu, dan sekarang hilang? Kamu kebiasaan termanisku.
Senyuman yang selalu ku lihat setiap hari, suara hangat dari kamu, tingkah konyol untuk mencerahkan pagiku. Mimpi-mimpi kita, semua yang akan kita lakukan di awal Tahun Baru, semuanya gugur.
Baru dua minggu di 2020, tapi aku serasa sudah dicabik berbulan-bulan. Hujan, jangan berhenti. Temani dulu aku siang ini. Aku mohon.
Lepas, kulepas tangisku di siang Jumat itu.
Semakin sakit.
Semakin sakit.
Ada apa?
Kenapa?
Kenapa sekarang?
Aku takut. Aku sangat ketakutan, sayang. Sangat takut!
Seringkali ku ceritakan kepadamu, hal yang paling kutakuti dalam hidup. Kau tahu jelas apa yang ada di otakku dan hatiku. Namun, aku takut dan kau juga takut.
Tidak masalah kau merasa takut. Namun sangat bermasalah saat kau enggan ingin tahu. Lantas kita harus apa?
Sudah di Jumat kedua di tahun ini. Kita semakin goyah, kita semakin acuh, dan kita lelah. Lelah dengan bualan klasik pereda luka, lelah dengan rutinitas, lelah dengan kerjaan, lelah dengan lingkaran dan kita berputar di dalamnya.
Saat kita ingin berhenti berlari, kita tidak menemukan lagi tempat berhenti. Ada pagar duri di peristirahatan kita. Sampai kapan? Sampai kapan?
Berlari-lari semua kenangan di otakku, sayang. Dekapan tanganmu yang hangat, bibir lembutmu di pipiku, jari jemarimu yang nakal di hidungku, semuanya. Tapi apa daya kita?
Siang ini aku ada di puncak gedung. Menghangatkan kepala yang tidak ingin lagi mengenang rasa rindu. Aku ingin Matahari terik siang ini, namun awan malah menutupi. Hujan siang itu.
Terisak-isak jiwaku bersama hujan yang berair debu. Sakit jantungku, sayang. Sangat sakit. Kenapa bisa sesakit ini, padahal kau tidak melakukan apa-apa? Siang itu, aku menangis sejadi-jadinya.
Kenapa aku terjebak dalam ucapanku? Bukankah kita sepakat untuk melangkah di jalan masing-masing? Kenapa aku goyah? Apa selama ini karena ada kamu, dan sekarang hilang? Kamu kebiasaan termanisku.
Senyuman yang selalu ku lihat setiap hari, suara hangat dari kamu, tingkah konyol untuk mencerahkan pagiku. Mimpi-mimpi kita, semua yang akan kita lakukan di awal Tahun Baru, semuanya gugur.
Baru dua minggu di 2020, tapi aku serasa sudah dicabik berbulan-bulan. Hujan, jangan berhenti. Temani dulu aku siang ini. Aku mohon.
Lepas, kulepas tangisku di siang Jumat itu.
Komentar
Posting Komentar