Di hari itu kamu mengenakan kemeja berwarna coklat susu yang sangat pucat.
Dengan sigap tanganmu menegakan tripod dan meletakan kamera yang kau genggam di atasnya. Rambutmu yang panjang kau ikat, tas yang kau sandang dari tadi kau letakan begitu saja di bangku. Kenapa hal sesederhana itu menjadi pemandangan yang indah bagiku?.
Di hari itu, ada jumpa media sebuah festival outdoor. Seperti biasa, aku datang, berkenalan dengan sesama dan saling bercengkrama. Kemudian duduk dan menenangkan jiwa raga yang kelelahan menghadapi macet Jakarta.
Tapi mengapa di hari itu, aku tidak menyapa kamu? Ah, sayang sekali melewatkanmu. Tapi tidak apa, aku mencoba untuk baik-baik saja dan mari fokus bekerja.
Waktu pun berlalu hingga acara hampir selesai. Kau cabut kameramu dan maju ke depan mengambil beberapa gambar. Kau hampiri kemudian temanmu dan kau melemparkan sebuah senyuman kepadanya.
Ya Tuhan, apa yang baru saja aku lihat? Sebuah senyuman yang begitu harmoni di wajah manusia yang Kau ciptakan. Entah mengapa tetiba aku bersyukur atas penglihatan yang kau berikan.
Senyuman kamu menarik mataku beberapa detik. Bolehkah aku menatap senyuman itu lebih lama lagi? Siapa kau, wahai lelaki yang tersenyum?
"Hey. Lo udah kelar? Yuk cabut," sapa rekan baruku yang membuyarkan tatapanku kepadamu.
"Eh iya. Yuk!"
Di hari itu, ada jumpa media sebuah festival outdoor. Seperti biasa, aku datang, berkenalan dengan sesama dan saling bercengkrama. Kemudian duduk dan menenangkan jiwa raga yang kelelahan menghadapi macet Jakarta.
Tapi mengapa di hari itu, aku tidak menyapa kamu? Ah, sayang sekali melewatkanmu. Tapi tidak apa, aku mencoba untuk baik-baik saja dan mari fokus bekerja.
Waktu pun berlalu hingga acara hampir selesai. Kau cabut kameramu dan maju ke depan mengambil beberapa gambar. Kau hampiri kemudian temanmu dan kau melemparkan sebuah senyuman kepadanya.
Ya Tuhan, apa yang baru saja aku lihat? Sebuah senyuman yang begitu harmoni di wajah manusia yang Kau ciptakan. Entah mengapa tetiba aku bersyukur atas penglihatan yang kau berikan.
Senyuman kamu menarik mataku beberapa detik. Bolehkah aku menatap senyuman itu lebih lama lagi? Siapa kau, wahai lelaki yang tersenyum?
"Hey. Lo udah kelar? Yuk cabut," sapa rekan baruku yang membuyarkan tatapanku kepadamu.
"Eh iya. Yuk!"
Sebenarnya hatiku kesal, kenapa rekanku tega membuyarkan aku yang hanyut dalam suasana ini. Padahal aku membayangkan seperti di dalam drama romantis, dimana kita saling bertatapan, kemudian bergenggaman tangan dan..... sudahlah!
Saat aku membalikan badan lagi ke arahmu, kau menatap persis ke arahku. Ya Tuhan, berdesir darahku. Kau melihat ke arahku?
Tunggu. Kau baru saja tersenyum? Serius? Itu kepadaku?
Tidak ingin salah sangka, aku lihat di sekitarku. Tak ada manusia, hanya ada aku.
Atau mungkin dia senyum ke bangku? Atau ke reklame yang tepat ada di belakangku? Ya mungkin saja.
Tidak mau merasa lebih, aku mencoba pura-pura tidak melihat senyum mautmu itu.
Okey, tarik nafas....
Jangan GeEr...
Dia senyum ke bangku.. Dia senyum ke bangku..
Saat aku jalan menuju pintu keluar dan sibuk salah tingkah, kau lewat begitu saja di depanku.
Begitu saja berlalu dan hilang.
KAMU SIAPA?
Komentar
Posting Komentar