Sayang, maafkan aku.
Entah mengapa kalimat itu sangat sulit ku ucapkan kepadamu. Kau menangis, air matamu mengalir begitu deras dihadapanku. Tapi, lidahku kelu.
Hampa. Sangt hampa hatiku saat membayangkan kau berjalan dengan arah yang berbeda dengaku. Sekarang tidak sekedar bayangan, kau benar-benar pergi. Dan aku hanya diam.
Apa yang terjadi denganku?
Mengapa tanganku tak bisa lagi menggenggam tanganmu yang mungil itu?
Kenapa aku tak sanggup menahan jari-jarimu yang selalu bermain di hidungku?
Kenapa aku tidak menahan kau pergi?
Aku tidak bisa menjawabnya, kekasihku.
Masih terngiang di kepalaku kejadian hari itu. Kau menangis sejadi-jadinya setelah memegang ponselku. Aku kaku sayang, aku tidak tahu harus berbuat apa.
Tolong, air matamu jangan kau keluarkan lagi. Aku kehilangan tenaga harus menahan kamu. Jangan menangis, tolong jangan menangis.
Kau, menatapku dengan sorotan mata yang tidak pernah kau perlihatkan. Raut wajah yang selalu ku hindari kali ini ada di depanku. Kamu marah, aku tahu.
Aku tahu, kamu benci denganku. Aku juga tahu bahwa kau menganggapku lelaki pengecut. Namun aku juga kehilangan arah, kekasihku.
Tolong, jangan kau lepaskan tanganku. Tolong, jangan kau benci kepadaku. Tidak ada apa-apa di ponselku selain kemarahan sesaatku dahulu.
Tolong, jangan kau terlalu keras kepadaku.
Jangan menangis lagi, wahai perempuan yang mewarnai hidupku. Aku kejam, aku yang salah.
Tapi mengapa kata maaf begitu berat di bibirku?
Apa yang telah kau lakukan?
Kenapa kata maaf yang dulu sering kita ucapkan, di saat seperti ini aku sungkan mengeluarkn?
Kau, menangis di sudut kasur pada hari itu. Bedakmu yang telah menawan di wajahmu terlihat berantakan. Namun kau masih cantik sayangku.
Jangan menangis lagi. Jangan!
Aku hanya bisa diam. Hatiku hancur. Aku melangkah lurus ke bangku, dan terduduk diam.
Kau menangis. Nafasmu sesak.
Aku hanya diam. Aku tidak melakukan apa-apa.
Sudah sayang. Jangan lagi.
Kenapa aku tidak bisa menggenggam kamu?
Entah mengapa kalimat itu sangat sulit ku ucapkan kepadamu. Kau menangis, air matamu mengalir begitu deras dihadapanku. Tapi, lidahku kelu.
Hampa. Sangt hampa hatiku saat membayangkan kau berjalan dengan arah yang berbeda dengaku. Sekarang tidak sekedar bayangan, kau benar-benar pergi. Dan aku hanya diam.
Apa yang terjadi denganku?
Mengapa tanganku tak bisa lagi menggenggam tanganmu yang mungil itu?
Kenapa aku tak sanggup menahan jari-jarimu yang selalu bermain di hidungku?
Kenapa aku tidak menahan kau pergi?
Aku tidak bisa menjawabnya, kekasihku.
Masih terngiang di kepalaku kejadian hari itu. Kau menangis sejadi-jadinya setelah memegang ponselku. Aku kaku sayang, aku tidak tahu harus berbuat apa.
Tolong, air matamu jangan kau keluarkan lagi. Aku kehilangan tenaga harus menahan kamu. Jangan menangis, tolong jangan menangis.
Kau, menatapku dengan sorotan mata yang tidak pernah kau perlihatkan. Raut wajah yang selalu ku hindari kali ini ada di depanku. Kamu marah, aku tahu.
Aku tahu, kamu benci denganku. Aku juga tahu bahwa kau menganggapku lelaki pengecut. Namun aku juga kehilangan arah, kekasihku.
Tolong, jangan kau lepaskan tanganku. Tolong, jangan kau benci kepadaku. Tidak ada apa-apa di ponselku selain kemarahan sesaatku dahulu.
Tolong, jangan kau terlalu keras kepadaku.
Jangan menangis lagi, wahai perempuan yang mewarnai hidupku. Aku kejam, aku yang salah.
Tapi mengapa kata maaf begitu berat di bibirku?
Apa yang telah kau lakukan?
Kenapa kata maaf yang dulu sering kita ucapkan, di saat seperti ini aku sungkan mengeluarkn?
Kau, menangis di sudut kasur pada hari itu. Bedakmu yang telah menawan di wajahmu terlihat berantakan. Namun kau masih cantik sayangku.
Jangan menangis lagi. Jangan!
Aku hanya bisa diam. Hatiku hancur. Aku melangkah lurus ke bangku, dan terduduk diam.
Kau menangis. Nafasmu sesak.
Aku hanya diam. Aku tidak melakukan apa-apa.
Sudah sayang. Jangan lagi.
Kenapa aku tidak bisa menggenggam kamu?
Komentar
Posting Komentar