Langsung ke konten utama

Dari Jumat ke Jumat: Patah (5)

Kamu dimana? Udah makan? Ayuk telfonan, aku bosan nih.
Semenjak malam itu, tidak ada lagi rengekan manjamu yang menahan lapar. Kamu ingin turunkan berat badan, tapi tetap menyeduh Pop Mie di tengah malam.

Tidak ada lagi chat manjamu, tidak ada lagi teror telfon di subuh yang membangunkan aku. Tidak ada lagi yang mengomentari baju aku hari ini. Kamu dimana?

Berhari-hari aku dalam keraguan. Haruskah aku menghubungimu? Marahkah kamu? Atau kamu juga menunggu telfonku?

Sungguh kekasihku, aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Bahkan kata maaf saja tidak terlintas dipikiranku. Apakah ini pertanda?

Minggu siang, ponselku berbunyi. Ternyata pesan dari kamu yang menanyakan kabarku. Aku senang dan ku balas dengan segera. Dan percakapan hari itu tidak ada ujung, kau menangis marah kepadaku. Aku hanya diam.

Selamat Tahun Baru!

Tahun ini sungguh kosong. Bila aku ingat lagi ambisi-ambisimu yang lalu, membuat aku menjadi tidak ada di matamu. Kenapa aku merasa seperti itu? Bukannya seharusnya aku bangga memiliki wanita yang punya impian dan mandiri?

Tapi kali ini aku tidak setuju dengan logikaku. Hatiku berkata berbeda, ibuku juga berkata berbeda. Aku diposisi sulit.

Malam itu saat aku berusaha menjelaskan kepadamu, kau bilang jangan. Kau larang aku menenangkanmu. Kau teriaki aku, dan kau ungkapkan bahwa aku harus membela ibuku. Harus menuruti ibuku.

"Sayang, jangan kau bimbangkan aku," ibuku dan kamu adalah milikku. Jangan kau bersikap seperti ini.

Kamu marah, marah semarah-marahnya malam itu. Bahkan di setiap pertengkaran kita selanjutnya kau selalu bilang takut.

Kamu takut. Kamu takut. Kamu takut. Kamu menangis. Dan aku benci saat air matamu menangisi aku.

Maafkan aku. Aku tidak bisa apa-apa.

Aku bingung. Aku takut kamu pergi, tapi aku juga bingung.

Aku tidak menyebutkan kata maaf kepadamu. Aku bahkan tidak meminta maaf kepadamu.

Aku jahat? Entahlah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (5)

Puluhan Jumat berlalu begitu saja. Jiwa ku kembali tenang dan tidak ada lagi gejolak yang berarti. Dan kau pemilik mata, yang namanya saja bibirku bergetar menyebutnya, semoga kau berbahagia selalu. Semenjak malam itu aku sadar, bahwa kita berada di dua dimensi yang belum pernah kita pertemukan. Dimensi yang kita paksa untuk tidak bertemu, karena kondisi yang ada. Tapi tidak masalah, aku menikmati setiap getaran yang kau berikan. Terkadang aku menyesali pertemuan mata kita kala itu. Toh, akhirnya kita juga memisahkan mata ini dan pura-pura tidak tahu kan? Aku ralat, bukan 'kita', tapi hanya aku seorang. Sedih juga ya bila diceritakan detail seperti ini? Tapi tidak masalah, kok. Berlalu sudahlah berlalu. Aku menikmati duniaku yang penuh misteri ini. Bagaimana dengan kamu? -- Selamat Tahun Baru! Minggu ini festival yang mempertemukan kita dahulu diadakan kembali. Dan telah aku garis bawahi bahwa kita hanyalah dua manusia yang terlibat urusan kerja. Dalam kesempatan itu kita b...

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (2)

Mata itu. Dua mata dengan sorotan tak biasa yang menembus jiwa tenangku. Berhari-hari jiwa ini tidak karuan. Hanya gara-gara dua bola mata tajam milik kamu. Segala cara sudah aku lakukan supaya tidak lagi memikirkan kamu. Namun, tidak semudah yang aku bayangkan. Mungkin kamu tidak tahu, aku hanyalah lelaki biasa yang disibukan dengan dunia darat dan gunung. Kau sebutkan saja nama-nama gunung besar di negeri kita, sudah ku naiki semua itu. Apa yang ingin kau tahu? Macam-macam peralatan yang dibutuhkan naik gunung? Cara survival? Brand-brand outdoor? Alat yang bagus dan cuaca ekstrem? Semuanya aku tahu. Kau ingin menanyakan jalan daerah mana? Pelosok negeri mana? Biar nanti ku antarkan kamu ke sana. Semuanya aku tahu. Yang tidak aku tahu adalah bagaimana cara menghadapi bola mata kamu yang tanpa seizinku bertemu dengan mataku. Yang menembus jiwaku. Dan itu tanpa aba-aba! Beberapa Jumat aku biarkan diriku terjebak rasa ini. Aku ingin memastikan bahwa ini hanyalah sementara. Nanti juga a...

Dari Jumat ke Jumat: Patah (4)

Apapun yang kamu lakukan, aku semakin jatuh cinta. Kamu tahu, dulu aku benci makanan manis, apalagi es krim. Namun karena kamu suka itu, aku pun mencoba menyukainya. Kamu punya kebiasaan jelek. Kamu suka bicara saat sedang mengunyah. Bibirmu dan pipimu sering bertaburan makanan dan es krim. Namun, kenapa kau cantik saat seperti itu? Jemariku akan menuju bibirmu yang lembut. "Makannya yang pelan sayangku," Kamu hanya mengangguk dan mengulang lagi kesalahan yang sama. Betapa menggemaskannya. Pada suatu hari kamu datang marah-marah kepadaku. Di saat itu juga pekerjaanku menumpuk. Kamu melampiaskan marahmu yang tidak terarah kepadaku. Aku meneriaki kamu dengan kata yang tidak sepantasnya. Kamu diam. Kamu menangis. Aku tersentak. Aku memelukmu, mengecup keningmu. Maafkan aku. Jumat terus berlalu dan berganti. Kamu semakin cantik, kamu semakin rewel, dan kamu semakin berambisi. Aku tetap suka. "Dia sudah berubah? Masih asal-asalan bicara?" Ibuku selalu menanyakan bagaim...