Kamu dimana? Udah makan? Ayuk telfonan, aku bosan nih.
Semenjak malam itu, tidak ada lagi rengekan manjamu yang menahan lapar. Kamu ingin turunkan berat badan, tapi tetap menyeduh Pop Mie di tengah malam.
Tidak ada lagi chat manjamu, tidak ada lagi teror telfon di subuh yang membangunkan aku. Tidak ada lagi yang mengomentari baju aku hari ini. Kamu dimana?
Berhari-hari aku dalam keraguan. Haruskah aku menghubungimu? Marahkah kamu? Atau kamu juga menunggu telfonku?
Sungguh kekasihku, aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Bahkan kata maaf saja tidak terlintas dipikiranku. Apakah ini pertanda?
Minggu siang, ponselku berbunyi. Ternyata pesan dari kamu yang menanyakan kabarku. Aku senang dan ku balas dengan segera. Dan percakapan hari itu tidak ada ujung, kau menangis marah kepadaku. Aku hanya diam.
Selamat Tahun Baru!
Tahun ini sungguh kosong. Bila aku ingat lagi ambisi-ambisimu yang lalu, membuat aku menjadi tidak ada di matamu. Kenapa aku merasa seperti itu? Bukannya seharusnya aku bangga memiliki wanita yang punya impian dan mandiri?
Tapi kali ini aku tidak setuju dengan logikaku. Hatiku berkata berbeda, ibuku juga berkata berbeda. Aku diposisi sulit.
Malam itu saat aku berusaha menjelaskan kepadamu, kau bilang jangan. Kau larang aku menenangkanmu. Kau teriaki aku, dan kau ungkapkan bahwa aku harus membela ibuku. Harus menuruti ibuku.
"Sayang, jangan kau bimbangkan aku," ibuku dan kamu adalah milikku. Jangan kau bersikap seperti ini.
Kamu marah, marah semarah-marahnya malam itu. Bahkan di setiap pertengkaran kita selanjutnya kau selalu bilang takut.
Kamu takut. Kamu takut. Kamu takut. Kamu menangis. Dan aku benci saat air matamu menangisi aku.
Maafkan aku. Aku tidak bisa apa-apa.
Aku bingung. Aku takut kamu pergi, tapi aku juga bingung.
Aku tidak menyebutkan kata maaf kepadamu. Aku bahkan tidak meminta maaf kepadamu.
Aku jahat? Entahlah.
Komentar
Posting Komentar