Duniaku sebelum ada kamu hanya ada dua warna, hitam dan putih. Berbeda dengan duniamu yang penuh warna.
Entah perbuatan baik apa dahulu yang dilakukan nenek moyangku. Atau doa ibuku untuk kebahagiaanku dikabulkan Tuhan kali ini. Kau datang ke duniaku dengan warnamu.
Ratusan Jumat kita lewati. Tentu tidak semuanya manis. Kerikil di jalanan kita singkirkan bersama. Kita bersuka cita dan berbahagia.
Caramu memelukku, caramu menatapku, caramu bermanja kepadaku menjadikan aku lelaki yang paling beruntung. Kamu mandiri, kamu tegas, kamu punya prinsip, dan satu yang sangat penting kamu menyayangiku. Itu saja sudah cukup, kamu menyayangiku.
Aku bukanlah petualang sejati seperti Mapala. Aku juga bukan seniman seperti mahasiswa di fakultas kita. Aku juga bukan kutu buku yang diam di pustaka.
Aku hanyalah pria sederhana yang memiliki kamu. Itu saja.
Momen pulang kuliah adalah yang ku tunggu-tunggu. Kau akan menghempaskan tasmu ke motorku dan merengek dibelikan es krim. Kau bilang, dosen menyebalkan itu memberikan banyak tugas. Dan kau kesal.
Apapun untukmu. Apapun kulakukan untukmu.
Momen yang paling ku bencipun datang. Di saat perayaan kelulusan, pria yang dulunya menjadi sainganku mendapatkanmu datang membawakan bunga. Dengan santainya dia mengucapkan selamat dan berfoto denganmu.
Di titik itu aku sadar, aku tidak bisa sekedar mencintaimu saja. Aku harus berbuat lebih supaya tidak ada laki-laki lain yang berani merebut wanitaku.
Kemudian kita berpisah pulau. Aku tertahan di sini karena orangtuaku. Kau pergi ke seberang dengan berani dan melambaikan tangan kepadaku. Kau bilang, aku harus menyusul.
Tenang saja kekasihku, aku menyusulmu.
Waktu terkadang memang tidak memihak kepada kita. Bertambahnya Jumat, bertambah pula permasalahan kita. Namun itu tidak mengubah fakta, kau wanita yang ku cintai.
Aku mendukung semua yang kamu lakukan. Asal kamu senang, aku turut senang.
Sampai di suatu hari aku tidak sengaja menyakiti dirimu dengan perkataanku. Maafkan aku, aku hanya lelaki cemburu yang tidak suka wanitaku memperhatikan yang lain. Itu saja.
Jumat terus bergilir. Setiap Jumat malam kau akan heboh dengan tempat kita bertemu esok, makan apa dan mengenakan baju apa. Kau pun akan menanyakan warna jilbab apa yang cocok dengan baju yang kau kenakan nanti.
Rutinitas itu aku nikmati di setiap Jumat malam. Demi pertemuan kita dan foto yang bagus, katamu.
"Sampai kapan dia kerja seperti itu? Yakin dia bisa mengurusmu kelak?"
"Dia sudah berubah? Masih asal bicara?"
Ucapan ibuku terus mengiang di kepalaku. Tapi aku tidak peduli. Kamu wanitaku, kamu penyemangatku, kamu tetap tersayang.
Jumat terus bergilir. Setiap Jumat malam kau akan heboh dengan tempat kita bertemu esok, makan apa dan mengenakan baju apa. Kau pun akan menanyakan warna jilbab apa yang cocok dengan baju yang kau kenakan nanti.
Rutinitas itu aku nikmati di setiap Jumat malam. Demi pertemuan kita dan foto yang bagus, katamu.
"Sampai kapan dia kerja seperti itu? Yakin dia bisa mengurusmu kelak?"
"Dia sudah berubah? Masih asal bicara?"
Ucapan ibuku terus mengiang di kepalaku. Tapi aku tidak peduli. Kamu wanitaku, kamu penyemangatku, kamu tetap tersayang.
Komentar
Posting Komentar