Terkadang aku mengenang masa-masa di mana mula tanganmu menggenggam tanganku. Malu tapi mau.
Saat itu tetes hujan berangsur turun. Aku berboncengan denganmu dan tanganku terdiam di tas yang memisahkan jarak punggungmu ke tubuhku. Aku terpaku diam saat kau mengoceh tentang hari ini yang mendung.
"Kamu kenapa diam saja?"
"Kamu lagi bicara. Aku ingin mendengarkan lebih lama lagi," jawabku sekenanya.
"Tanganmu mana?"
"Ini sedang memegang tas,"
"Kemarikan tasmu. Biar ku sandang," kamu mun menepi dan menghentikan motormu dan menyandangkan tasku ke dadamu. Perjalananmu kembali dilanjutkan dan kau berceloteh tentang hujan sore ini.
"Hallo.. Kamu masih bersamaku?"
"Iya. Aku masih bersamamu. Mendengarkan celotehmu yang tak kunjung henti itu," jawabku dengan tawa.
"Tangan kamu mana?"
"Tepat dibelakangmu," ujarku sembari mengangkat kedua belah tanganku.
"Boleh aku pinjam sebentar tanganmu?" kemudian tangan kirimu meraih tangan kiriku dan melilitkannya ke pinggangmu. Aku terkejut tapi aku tidak membantah.
"Mana tangan kananmu? Tangan kirimu tak kan sanggup berpisah jauh dari tangan kananmu," bicaramu sekenanya.
"Ini," kataku sembari memeluk pinggangmu. Kedua lenganku berpadu ditubuhmu sore itu. Senyum tidak lepas dari bibirmu, begitu juga dengan bibirku.
"Jangan kau lepas sampai di tempatmu. Jangan sesekali mencoba melepas tanganmu," ujarmu sembari memegang kedua tanganku yang tepat di dadamu.
Sore itu begitu syahdu.
Semenjak hari itu kamu selalu memarahiku bila melepas genggamanmu.
--
Sore ini langit Jakarta berwarna cantik. Anginpun bertiup sepoi-sepoi mengibaskan jilbabku yang berwarna abu-abu. Kemudian aku mengingat lagi lelaki dengan senyuman itu.
Komentar
Posting Komentar