Langsung ke konten utama

Dari Jumat ke Jumat (9)


Tak ada beda malam minggu dengan malam lainnya. Karena setiap hari adalah malam kita. Malam bercengkrama, malam waktu bertemu, saling bercanda, saling cubit dan saling melambai saat akan pulang.

Kedipan mata genitmu mengantarku pulang. Ah, betap manisnya penutup weekend ku. Betapa bergairahnya cintaku setiap mendengar nafasmu.

Kita memilih jalan yang berbeda. Jalan yang kita benci selama ini, jalan yang selalu kita hindari bersama. Namun sekarang jalan itu menjadi penyelamat kita.

Terdengar cikikian dua gadis remaja, bicara bisik-bisik menyebutkan bahwa pacarnya akan datang. Berbisik-bisik bahwa akan ada kejutan di malam ini. Lelakinya ulang tahun.

Mengenakan kaus berwarna pink, jeans hitam dengan sepatu kets putih. Dia pun memperbaiki rambutnya yang berwarna merah kecoklatan. Sesekali melihat kamera ponsel, memastikan dandanannya malam itu tidak buruk.

Aku hanya menarik nafas dalam-dalam dan menatapnya dari lantai dua kosan. Kemudian aku alihkan pandangan ke langit. Ah, kenapa saat aku sendiri seperti ini, langit di malam minggu begitu cerah?

"Ya halo, Ma. Lagi apa? Aku ingin cerita. Dia tidak ada lagi menghubungiku. Jika bukan aku yang menghubungi, dia sepertinya enggan menelfonku. Ma, aku harus apa?"

Rutinitas percakapan dengan ibuku setiap malam. Tentu saja aku menangis seperti orang gila. Menangisi kenapa rasanya sangat sakit, padahal kita sepakat untuk melepas?

Di minggu kedua, aku mantapkan untuk melepaskan semua. Aku mantapkan hati untuk bepergian sendiri, aku susun waktu dan akan membuka hati nanti setelah pulang bepergian. Izin aku mewujudkan itu, Tuhan.

Langsung ku tentukan negara seberang yang ingin menjadi pelampiasan patah hati ini. Aku tulis tempat-tempat yang ingin kukunjungi dan biaya yang akan dihabiskan.

Setelah semuanya lengkap, aku terdiam kembali. Ku tarik nafas dalam-dalam. Aku menangis lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (5)

Puluhan Jumat berlalu begitu saja. Jiwa ku kembali tenang dan tidak ada lagi gejolak yang berarti. Dan kau pemilik mata, yang namanya saja bibirku bergetar menyebutnya, semoga kau berbahagia selalu. Semenjak malam itu aku sadar, bahwa kita berada di dua dimensi yang belum pernah kita pertemukan. Dimensi yang kita paksa untuk tidak bertemu, karena kondisi yang ada. Tapi tidak masalah, aku menikmati setiap getaran yang kau berikan. Terkadang aku menyesali pertemuan mata kita kala itu. Toh, akhirnya kita juga memisahkan mata ini dan pura-pura tidak tahu kan? Aku ralat, bukan 'kita', tapi hanya aku seorang. Sedih juga ya bila diceritakan detail seperti ini? Tapi tidak masalah, kok. Berlalu sudahlah berlalu. Aku menikmati duniaku yang penuh misteri ini. Bagaimana dengan kamu? -- Selamat Tahun Baru! Minggu ini festival yang mempertemukan kita dahulu diadakan kembali. Dan telah aku garis bawahi bahwa kita hanyalah dua manusia yang terlibat urusan kerja. Dalam kesempatan itu kita b...

Dari Jumat ke Jumat: Siapa kamu? (2)

Mata itu. Dua mata dengan sorotan tak biasa yang menembus jiwa tenangku. Berhari-hari jiwa ini tidak karuan. Hanya gara-gara dua bola mata tajam milik kamu. Segala cara sudah aku lakukan supaya tidak lagi memikirkan kamu. Namun, tidak semudah yang aku bayangkan. Mungkin kamu tidak tahu, aku hanyalah lelaki biasa yang disibukan dengan dunia darat dan gunung. Kau sebutkan saja nama-nama gunung besar di negeri kita, sudah ku naiki semua itu. Apa yang ingin kau tahu? Macam-macam peralatan yang dibutuhkan naik gunung? Cara survival? Brand-brand outdoor? Alat yang bagus dan cuaca ekstrem? Semuanya aku tahu. Kau ingin menanyakan jalan daerah mana? Pelosok negeri mana? Biar nanti ku antarkan kamu ke sana. Semuanya aku tahu. Yang tidak aku tahu adalah bagaimana cara menghadapi bola mata kamu yang tanpa seizinku bertemu dengan mataku. Yang menembus jiwaku. Dan itu tanpa aba-aba! Beberapa Jumat aku biarkan diriku terjebak rasa ini. Aku ingin memastikan bahwa ini hanyalah sementara. Nanti juga a...

Dari Jumat ke Jumat: Patah (4)

Apapun yang kamu lakukan, aku semakin jatuh cinta. Kamu tahu, dulu aku benci makanan manis, apalagi es krim. Namun karena kamu suka itu, aku pun mencoba menyukainya. Kamu punya kebiasaan jelek. Kamu suka bicara saat sedang mengunyah. Bibirmu dan pipimu sering bertaburan makanan dan es krim. Namun, kenapa kau cantik saat seperti itu? Jemariku akan menuju bibirmu yang lembut. "Makannya yang pelan sayangku," Kamu hanya mengangguk dan mengulang lagi kesalahan yang sama. Betapa menggemaskannya. Pada suatu hari kamu datang marah-marah kepadaku. Di saat itu juga pekerjaanku menumpuk. Kamu melampiaskan marahmu yang tidak terarah kepadaku. Aku meneriaki kamu dengan kata yang tidak sepantasnya. Kamu diam. Kamu menangis. Aku tersentak. Aku memelukmu, mengecup keningmu. Maafkan aku. Jumat terus berlalu dan berganti. Kamu semakin cantik, kamu semakin rewel, dan kamu semakin berambisi. Aku tetap suka. "Dia sudah berubah? Masih asal-asalan bicara?" Ibuku selalu menanyakan bagaim...