Selamat datang Februari.
Tanggal 31 Januari bertepatan dengan hari Jumat. Aku mantap menghubungimu dan mengatakan dengan penuh keberanian, aku siap untuk pergi dan melepas kamu.
Aku menangis sesegukan. Aku kira tidak akan ada drama lagi karena ku tahu apa yang dimau. Namun salah, di sinilah titik penentuan apa yang akan kulakukan. Aku hanya sanggup mengirim pesan ke kamu!
"Hi, apa kabar?"
"Baik"
"Aku ingin bilang sesuatu. Kamu ingatkan dulu aku bilang tidak akan membuka hati untuk siapapun, hingga pulang dari seberang?"
"Iya"
"Sepertinya aku ingin mencabut pernyataan itu. Aku ingin menikmati hidup,"
"Ya silahkan"
"Aku ingin izin dari kamu dan tidak ingin ada rasa bersalah. Makanya aku bilang,"
"Hahaha. Untuk apa? Terus saja langgar janji kamu,"
"Ya. Aku capek,"
"Sama. Aku juga capek. Kamu menemukan penggantiku?"
"Tidak. Okey, sepertinya kamu akan menuduhku lagi. Aku hanya ingin kamu tahu. Itu saja,"
Setelah mengirim pesan itu, tubuhku kehilangan tenaga. Terduduk aku di pinggir kasur. Hey, air mata... Kenapa kau tidak berhenti?
Aku menangis lagi untuk kesekian kalinya. Menjadi-jadi! Kusekap muka ini dengan bantal dan ringkukan tubuh ke kasur. Aku hanya lelah. Biarkan aku seperti ini sejenak.
Tidak mudah bagiku. Mungkin bagimu juga seperti itu. Kita seringkali berurai air mata dan berakhir seperti awal kala. Namun, kenapa air mata kali ini berbeda? Kita sama-sama lelah.
Pegal juga pinggulku meringkuk seperti ini. Aku coba duduk dan mengambil tisu. Sudah penuh ingus di hidungku.
Oke, tarik nafas, buang. Lakukan secara perlahan.
Ku yakinkan diriku, bahwa yang aku lakukan ini tidak salah. Yang kulakukan demi kebaikan bersama. Demi kebaikan aku dan kamu.
Setelah emosiku mereda. Ku coba berdiri perlahan. Ku tatap lagi gambarmu yang menjadi pembuka layarku.
Sudah saatnya, aku ganti foto itu...
Siangnya, kelabu kembali menghampiriku. Semua kenangan kita, semua hal yang pernah kita lalui, melintas hebat di kepalaku. Ya Tuhan! Apa lagi ini?
Segera ku tinggalkan meja kerjaku. Berjalan cepat ke tangga menuju atap. Kembali lagi, siang itu air mata ku berderai sejadi-jadinya.
Sesak nafasku. Pandanganku berkunang-kunang. Perutku terasa mual. Badanku menggigil! Apakah tubuhku menolah keputusan yang telah aku lakukan?
Jumat keempat di Tahun Baru. Jumat yang berat. Jumat yang menentukan langkah selanjutnya.
Tanggal 31 Januari bertepatan dengan hari Jumat. Aku mantap menghubungimu dan mengatakan dengan penuh keberanian, aku siap untuk pergi dan melepas kamu.
Aku menangis sesegukan. Aku kira tidak akan ada drama lagi karena ku tahu apa yang dimau. Namun salah, di sinilah titik penentuan apa yang akan kulakukan. Aku hanya sanggup mengirim pesan ke kamu!
"Hi, apa kabar?"
"Baik"
"Aku ingin bilang sesuatu. Kamu ingatkan dulu aku bilang tidak akan membuka hati untuk siapapun, hingga pulang dari seberang?"
"Iya"
"Sepertinya aku ingin mencabut pernyataan itu. Aku ingin menikmati hidup,"
"Ya silahkan"
"Aku ingin izin dari kamu dan tidak ingin ada rasa bersalah. Makanya aku bilang,"
"Hahaha. Untuk apa? Terus saja langgar janji kamu,"
"Ya. Aku capek,"
"Sama. Aku juga capek. Kamu menemukan penggantiku?"
"Tidak. Okey, sepertinya kamu akan menuduhku lagi. Aku hanya ingin kamu tahu. Itu saja,"
Setelah mengirim pesan itu, tubuhku kehilangan tenaga. Terduduk aku di pinggir kasur. Hey, air mata... Kenapa kau tidak berhenti?
Aku menangis lagi untuk kesekian kalinya. Menjadi-jadi! Kusekap muka ini dengan bantal dan ringkukan tubuh ke kasur. Aku hanya lelah. Biarkan aku seperti ini sejenak.
Tidak mudah bagiku. Mungkin bagimu juga seperti itu. Kita seringkali berurai air mata dan berakhir seperti awal kala. Namun, kenapa air mata kali ini berbeda? Kita sama-sama lelah.
Pegal juga pinggulku meringkuk seperti ini. Aku coba duduk dan mengambil tisu. Sudah penuh ingus di hidungku.
Oke, tarik nafas, buang. Lakukan secara perlahan.
Ku yakinkan diriku, bahwa yang aku lakukan ini tidak salah. Yang kulakukan demi kebaikan bersama. Demi kebaikan aku dan kamu.
Setelah emosiku mereda. Ku coba berdiri perlahan. Ku tatap lagi gambarmu yang menjadi pembuka layarku.
Sudah saatnya, aku ganti foto itu...
Siangnya, kelabu kembali menghampiriku. Semua kenangan kita, semua hal yang pernah kita lalui, melintas hebat di kepalaku. Ya Tuhan! Apa lagi ini?
Segera ku tinggalkan meja kerjaku. Berjalan cepat ke tangga menuju atap. Kembali lagi, siang itu air mata ku berderai sejadi-jadinya.
Sesak nafasku. Pandanganku berkunang-kunang. Perutku terasa mual. Badanku menggigil! Apakah tubuhku menolah keputusan yang telah aku lakukan?
Jumat keempat di Tahun Baru. Jumat yang berat. Jumat yang menentukan langkah selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar